{Rerupa}

Rerupa Blog | Created By Www.BestTheme.Net

Di Kereta

Posted by Rerupa

Usianya tampak telah lama meninggalkan angkan 60, memakai topi dan batik duduk dengan gelisah. Laki-laki itu sesekali merongoh tasnya dan mengeluarkan bermacam makanan, mulai dari jajanan pasar, roti tempo dulu, hingga telur rebus. Semuanya dia tawarkan pada gadis yang duduk manis dengan tas Guess merah tiruannya sambil menarikan jemarinya di atas keypad Blackberry tiruan juga. Gadis itu menolak dengan ramah, tapi kalah ramah dengan si bapak tua itu yang penuh kesungguhan menawarkan makanannya sehingga terpaksa sang gadis menerimanya hanya demi menghentikan rayuan sang bapak untuk mencicipi makanan yang ditawarkan tadi. Kebaikan dan keramahan si bapak untuk berbagi rejeki yang sedang dinikmatinya terasa memaksa. Sementara kereta terus melaju, acara makan makanan berat yang bertubi-tubi tidak hanya dilakukan si kakek yang duduk di bangku kereta ekonomi di samping saya, seorang ibu yang juga berusia sekitar lebih dari enam puluh itu juga sibuk menawar makanan dan memakannya dengan lahap (padahal sebelum kami naik, beliau sudah makan), hingga beberapa bungkus selain bungkusan yang dibawanya dari rumah. 


Bangku berhadap-hadapan di kereta pada satu sisi berisi tiga-tiga dan yang satu sisi lagi dua-dua. Saya duduk di kursi yang isi tiga, jadi kami berenam saling berhadapan. Empat dari kami kurang lebih dari jaman yang sama, era delapan puluhan-sembilan puluhan, sementara dua lagi dari masa jauh sebelum kami. Saya mencatat ini sebagai dua generasi yang kehilangan jembatan. Kalau kami berempat adalah anak-anak, dan dua orang dewasa itu kakek dan nenek, berarti di situ kurang  ayah dan ibu.
Bagi generasi ibu-bapak saya, keramahan kakek di kereta itu mungkin tidak terlalu asing. Akan tetapi bagi kami yang urutannya selevel cucu mereka (ternyata seorang di antara kami yang generasi anak ini menemani si kakek turun di stasiun Balapan, mungkin memang cucunya), keramahan sang kakek dan keacuhan si nenek dengan makanan beratnya di kereta terasa aneh. Gadis di samping saya yang dipaksa ikut makan telur rebus bekal si kakeh sampai kewalahan tampak sangat terganggu dengan keramahan itu walau pun dia juga tetap berusaha sopan. 


Diam-diam saya menelusuri di mana keterputusan kami? Kakek dan nenek yang tampaknya tidak saling kenal di kereta itu fokus dengan urusan perut ketika menempuh jarak dan waktu  dalam sebuah ruang. Sementara kami terjebak dalam kebiasaan yang meng-instan dalam segala sesuatunya, termasuk dalam memampatkan ruang dan waktu. Jika kakek-nenek itu memilih mempersiapkan perjalanannya dengan bekal, kami menyiasatinya dengan mengandalkan perputaran modal yang ada di sekitar kami. Ruang sudah menjadi pengetahuan umum kami sebagai tempat yang tidak bebas modal. Perkara ruang dan waktu ini juga yang membuat kami berpikir terselamatkan oleh jejaring kapitalisme dalam pemenuhan kebutuhan di dalam menempuh waktu dan ruang. Makanan cepat saji dan penuh pengawet yang instan pun menjadi pilihan kami dalam kerangka pemampatan ruang dan waktu tersebut.

Beberapa detik sebelumnya saya berpikir si kakek dan si nenek ‘ribet’ atau tidak praktis pada pilihannya dengan bekal yang dinikmati di kereta itu. Namun saya juga salut pada mereka yang sebenarnya lebih detil pada tahapan aktivitasnya dalam mengarungi ruang dan waktu, menghitung jarak dan detil lain yang dibutuhkannya tanpa tergantung sepenuhnya pada arus kapitalisme di sekitarnya yang telah menjerat kami dengan pola hidup yang makin mentasbihkan kapitalisme sebagai penyelamat. Dalam perjalanan kami di kereta ketika itu tidak bisa mengingkari kebutuhaan kami pada Kapal Api, Dunhill, Aqua, Pop Mie atau pun sekedar nasi bungkus berlauk minim demi keuntungan lebih besar yang dijajakan pedagang asongan. 

Baik yang instan dan yang tidak instan tadi ujung-ujungnya memang makan makanan berat di kereta. Di mata saya, nilai positif bagi semua hanya terletak pada kesanggupan untuk tidak membuang sampah sembarangan di kereta yang sudah pengap dengan asap rokok itu. Konsekwensinya adalah lenyapnya tukang sapu lantai kereta, tapi mungkin bisa berganti jadi tukang buang sampah yang sudah dipisah dalam kantong-kantong sampah yang sudah disediakan. Segala sesuatu memang ada konsekwensinya, masalahnya berani atau tidak menghadapi segala kemungkinan resiko?Ah itu bayangan saya, entah pihak PJKA apa terpikir juga hal demikian, entah juga para pengguna fasilitas umum apa bersedia tertib ramah terhadap semesta.
Kembali ke perihal habbit makan dan menyampah sisa kebutuhan perut yang kalau diusut ini menyangkut aspek budaya, politik dan ekonomi negara segala yang lebih ribet tentunya bahasannya, saya jadi ingat teman saya, Lusi, yang menolak ikut ke tempat bintang berada seperti dalam lirik lagu BINTANG KECIL. Dia enggan pergi karena di sana tidak ada Indomaret katanya. Di luar sana masih banyak lagi Lusi-Lusi lain yang dalam perjalanan atau aktivitasnya sehari-hari mengandalkan toko kelontong waralaba ala Indomaret, Circle K atau Alfamart. Dari apa yang sudah saya ceritakan, kemudian saya mempertanyakan dalam tataran yang lebih luas dengan konsep kebangsaan: lantas kita mau jadi bangsa yang bagaimana dengan keadaan ini?

2 Responses so far.

  1. wah mbak, pemikiran yang teramat mendalam dari 'sekedar' memikirkan sesaknya perjalanan naik sepur.dari satu ruang sempit muncul pemahaman-pemahaman luas. btw, yang dipotret kayaknya risih tu. hehe

  2. Rerupa says:

    hehehe..itu ke-lebay-an mikir saya soal numpak sepur :P. itu yang motret ndak paham bahasa isyarat. yang dipoto malah saya haha..wal hasil motret kakek dan neneknya nyolong2 sak kenanya :D

Leave a Reply