{Rerupa}

Rerupa Blog | Created By Www.BestTheme.Net

Emak, Emak!

Posted by Rerupa

Oleh: Hat P.
terbit di harian Balipost Senin 17 Juli 2011

Emak menghempaskan pantatnya di balai-balai bambu di ruang tamu yang tak berkursi itu. Lantai tanah dan dinding bambu yang jauh dari sederhana itu membuatnya nyaman. Kakinya berselonjor terbalut kain batik selutut yang sudah lusuh dan kumal. Ada lumpur kering yang lolos dari awasnya saat ia membasuh betis hitamnya di kanal-kanal sawah sepulang dari kerja siang itu. Kuku-kuku kakinya hitam menempel pada jari-jari kaki yang pecah-pecah.
Musim tanam begini adalah musim duit untuknya. Di pagi buta ia akan menyusuri jalan-jalan setapak menuju lokasi tanam yang tak terjangkau jarak pandang dari rumah. Bersama perempuan-perempuan seusianya, bahkan ada beberapa yang lebih tua darinya. Ia mencumbu lumpur dengan menghunjamkan batang-batang padi ke dalamnya.
Seperti siang itu, sepulang dari sawah, emak membeber lembar-lembar rupiahnya yang ia keluarkan dari lipatan kain panjang di dekat perutnya.
“Ini uang belanja buat besok.” katanya sambil menyodorkan tiga lembar ribuan pada putrinya yang sejak tadi memperhatikannya.
“Berasnya masih, kan?” Lanjutnya lagi pada perempuan itu. Ia hanya mengangguk pelan tanpa ekspresi yang jelas.
“Ya,sisanya kamu tabung. Belilah lipstik dan bedak agar wajahmu tak kuyu begitu.” Emak terdiam sejenak sambil mengamati wajah Tuminah yang tercenung di hadapannya.
“Kamu sudah cuci baju yang Mak belikan dari Holipah kemarin?”
“Sudah, Mak. Tapi Tum tak suka pakaian seperti itu.”Tuminah melipat uang tiga ribunya dan menyelipkannya ke dalam bra hitam dengan jahitan benang putih pada talinya.
“Kenapa?mau beli yang baru saja? kan sayang uangnya. Lebih baik dibelikan yang lain saja. Lagi pula itu produk luar negeri,lo.” Emak masuk ke ruang tengah. Sesaat kemudian dia kembali dengan blazer kuning di tangannya. Sementara Tuminah menatapnya dengan wajah cemberut.
“Tum tidak suka modelnya. Itu kan baju kantoran, Mak. Untuk kemana Tum dengan model baju begitu..”gerutunya sambil melepaskan pandangannya ke halaman rumah yang rimbun dengan tanaman singkong dan perdu.
“Ya kamu pakai kalau diajak jalan-jalan sama Sukarman. Nanti sore ia akan ke mari. Tadi pagi Emak bertemu dengannya di perempatan jalan waktu dia akan berangkat kerja.”
Wajah Tuminah kian masam. Tanpa sepatah kata pun ia tinggalkan Emak,lalu menghambur ke ranjang tuanya yang berselambu putih lusuh. Matanya berkaca-kaca. Sukarman! Sukarman! Sukarman! Setiap nama itu keluar dari mulut Emak, dadanya berdegup kencang seperti gemuruh kereta lewat.
            Setahun lalu, Emak bilang bahwa Kang Kardi adalah orang yang tepat untuknya. Dia duda beranak tiga yang baru ditinggal mati istrinya. Usianya dua kali lipat usia Tuminah tapi dia diwarisi beberapa petak sawah oleh istrinya. Di samping itu, berpengalaman sebagai kuli bangunan di Bali, Jakarta, dan dua tahun di Malaysia. Kata Emak nantinya Tuminah tak kan perlu khawatir soal bagaimana menghidupi dirinya.
“Tapi Tum tidak mencintainya, Mak.” Isaknya saat ia menolak ijab.
“Nanti kau akan belajar untuk itu.” Jawab Emak datar sambil menatapnya tajam.
“Tum tidak mau melayaninya.” Derai air matanya membuat bedak tebal yang menempel di mukanya leleh.
“Mau menunggu Joko yang masih kuliah? Kupingmu ra krungu ta?1 Bu Lurah mencak-mencak nggak bakal membiarkan putranya menikahi babu, anak buruh tani seperti kamu, Nduk! Jangan bermimpi jadi si Bawang Putih atau si Upik Abu. Jatah rezeki kita memang hanya segenggam. Tak usah mengharap semangkuk. Kita memang miskin, jangan bermimpi terlalu tinggi, kalau jatuh akan sakit, Nak.” Emak tampak gusar.
“Kita memang miskin, tapi kan sah saja kita punya mimpi. Gusti Allah juga tidak melarang bermimpi, Mak. Setidaknya ada usaha untuk memperbaiki keadaan, membuat mimpi kita jadi nyata.” jawab Tuminah di sela isak tangisnya.
“Boleh bermimpi tapi tidak dalam hal ini, Nduk. Kasihani emakmu ini..Emak tak lagi mampu menjagamu karena kau beranjak dewasa, kebutuhanmu semakin banyak. Kardi pasti mampu menjagamu dengan baik dan memenuhi kebutuhanmu yang tak mampu Emak berikan. Dengarkan Emakmu ini.”
Dan tanpa komentar lagi, Tuminah menerima nikah Kardi. Emak yang mengaturnya, mungkin ini baik untukku, pikirnya pasrah atau mungkin putus asa. Tapi ternyata prediksi Emak salah. Tuminah telah melakukan semua yang Emak perintahkan tapi bahagia itu tak kunjung datang. Cinta itu tak pernah tumbuh karena kedatangan Kang Kardi setiap sore hari tak ubahnya teror baginya. Dia benci suaminya yang selalu menciuminya dengan rakus dan menancapkan tongkat ajaibnya di kanal keringnya tanpa ‘Kulo Nuwun’.  Saat itu suara Emak terngiang jelas di telinganya sehingga ia tak dapat berkutik. Jangan banyak bicara di ranjang, jangan menolak ajakan suami bercinta, jangan mengeluh apa pun terkait dengan yang kamu rasakan saat bercinta. Demikian Emak selalu mewanti-wantinya. Tuminah tak berani bersuara karena merasa Emak sedang mengawasinya dan siap mengiba untuk dipatuhi sebagai Emak yang melahirkannya.
Sakit itu maha dahsyat seperti tembakan pada raga dan jiwanya. Entah apa itu perkawinan, pikirnya. Yang ia alami seperti pemerkosaan yang disahkan penghulu, dan katanya sah di hadapan Tuhan. ‘Benarkah kebrutalan macam ini disahkan Tuhan? Sahkah perkawinan itu jika dalam hati Tuminah tak ingin mengatakan ‘ya’ untuk pernikahan itu? Apakah Tuhan mentolerir itu karena para walinya dan Emak mengatakan sah?”
Baru tiga bulan ia merasa merdeka atas dirinya sendiri setelah Kang Kardi memutuskan kembali ke Malaysia. Dan yang paling melegakan adalah sebulan kemudian ia berkirim surat yang mengatakan bahwa ia telah menikah lagi. Dia merelakan Tuminah untuk mendapatkan pendamping penggantinya. Ada secercah lara di bilik hati Tuminah, Kang Kardi memperlakukannya seperti barang habis pakai. Namun setidaknya malam-malam teror itu telah berakhir.
Tapi setelah teror Kang Kardi berlalu, Tuminah gundah kembali karena Emak akan menikahkannya dengan lelaki baru. Namanya Sukarman, pria berkulit coklat dan berbadan tegap, dia seorang penjual sandal keliling. Padahal Tuminah sudah bilang pada emak kalau ia akan bekerja di rumah Jeng Ratna. Jadi Emak tidak usah kawatir akan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Tapi Emak bilang, suami Jeng Ratna adalah laki-laki jalang yang sudah dua kali menghamili pembantunya. Dia melarang Tuminah bekerja di sana.
“Sudahlah, Tum. Sukarman orang baik-baik. Emak menyayangimu. Emak tidak mau kejadian minggu lalu keburu menyebar dan kau dicap sebagai perempuan nakal yang tak laku bagi pria baik-baik.”
Emak tiba-tiba muncul membuyarkan lamunan Tuminah. Perlahan ia duduk di sisi ranjang sambil mengelus rambut panjang putri satu-satunya yang tengah galau.
 “Tum mencintai Joko, Mak.” suara Tuminah parau.
“Joko terlalu sempurna untukmu. Dia tak kan menikahimu.”
“Apakah karena kita miskin lantas kita tak berhak memiliki sesuatu yang sempurna?”
“Sepertinya begitu.” jawab emak.
“Apalah arti pernikahan jika tak pernah tercipta kenyamanan di dalamnya, Mak? Sekarang menikah, entah berapa lama lagi bercerai, menikah lagi, lagi dan lagi... tidakkah itu hanya untuk membeli status di mata orang desa, Mak? Bahwa perempuan bersuami itu lebih baik daripada janda atau perempuan lajang. Padahal itu bukan jaminan. Itu hanya kesimpulan, Mak.Tum tidak mau menikah lagi.”
“Tum?! kau harus menikah. Hentikan pikiran liarmu. Besok pagi Emak antar kalian ke Penghulu.” Emak berlalu bagaikan bayangan meninggalkan Tuminah yang berlinang air mata.
Emak, Emak...Tuminah mendesah pelan di antara linangan air matanya. Tuminah berharap Tuhan berpihak padanya, memaafkannya untuk pilihannya kali ini. Dalam gelap, Tuminah mengendap-endap di antara pohon pisang di belakang rumahnya, menyeberangi sungai dan menyusuri pematang-pematang sawah yang masih becek dengan harapan.

Leave a Reply