Senja
Posted by Rerupa
Oleh: Hat Pujiati
diterbitkan di harian Bali Post 14 Agustus 2011
Matahari sore bersembunyi di balik awan yang mulai menghitam. Semburat jingga menyirami kota yang akan tenggelam dalam hiruk-pikiuk malam. Malam yang bergelora, malam yang meriah, malam yang bertaburan bintang meski hujan datang, malam yang bertalu... malam gemerlap dan tak pernah lelah... malam yang bertaburan lembar-lembar rupiah yang membuat kota ini berjantung dan kokoh, semakin kokoh setiap hari. Tapi jingga yang belum matang ini mungkin hanya milik sebagian orang di kota ini. Mungkin juga kali ini hanya milikku karena hanya aku sendiri yang menikmatinya.
Aku tak dapat menikmati gemerlap malam karena kantongku tak cukup membelinya. Senja tentu saja terasa mewah dengan hamburan jingganya yang gratis kueksploitasi dalam kata-kata. Dulu ibuku juga menyediakan teh berwarna jingga beraroma melati di atas meja di teras di mana aku biasa menikmati senja yang jingga. Kini jingga jadi sesuatu yang mahal bagiku meski itu tak perlu merongoh isi kantongku (gratis kan dihitung bila tanpa keharusan membayar dengan sejumlah nominal material) karena tak setiap senja jingga dapat aku nikamati lagi. Bu Dona akan mengomeliku jika aku melajukan mobil lebih pelan dari biasanya karena aku ingin lebih lama melajukan mobil di jembatan layang untuk bisa menikmati kemewahan senja jingga. Senja jingga tampak benar-benar seperti sinar surgawi di dataran tinggi. Aku selalu berhayal kalau aku sedang mengemudi menuju istana surgawi saat sedang melesat di jembatan layang itu yang kiri kanannya ada lampu-lampu merkuri menjulang tinggi, namun belum menyala. Cagak-cagak itu hanya berwarna hitam dan jingga. Tapi entah mengapa setiap kali aku mengatakan betapa indahnya senja, Bu Dona hanya merengut dan mengatakan aku udik. “Kalau mau menikmati matahari terbit atau tenggelam itu di pantai, bukan di jalan tol! Senja di Kuta Bali itu baru benar-benar indah... huh.. jalan tol... kamu ada-ada saja.. sudah cepat injak pedal gas itu kuat-kuat. Aku bisa terlambat sampai di lokasi shooting.” Begitu dia pernah mencemooh komentarku. Sejak saat itu aku tidak suka berbicara tentang senja lagi dengannya.
Ya ya ya... Kuta Bali itu indah. Tapi kapan aku bisa menikmati senja di sana? Gaji bulanan dari keluarga Bu Dona harus aku kirimkan ke kampung untuk biaya hidup orangtuaku dan juga adikku. Belum lagi kalau mendadak mereka minta tambahan jatah karena ada kepentingan seperti uang SPP dua semester si Diah yang sudah menunggak atau biaya untuk memperingati setahun meninggalnya Yogi adik bungsuku yang meninggal tahun lalu karena terserang demam berdarah dan terlambat ditangani dokter. Dari biaya tahlilan selama tujuh hari, peringatan empat puluh hari, seratus hari dan kemarin setahun, tabunganku amblas. Yogi yang malang... semoga kau dapat beristirahat dengan damai di sisinya. Boro-boro tabungan untuk liburan... Untung saja Bu Rokayah, tukang masak di keluarga Bu Dona selalu menyimpan makanan enak untukku hingga aku tak perlu khawatir soal makan. Tamatan SMU sepertiku ini tentu saja bersyukur dapat pekerjaan di dalam rengkuhan Jakarta si jalang ringkih ini.
Aku ingin adikku Diah bisa selesaikan kuliahnya agar tak berakhir sebagai pembantu sepertiku. Kuharap ia bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak meski semua harus didapat dari keringat sopir ini. Setidaknya dia tak perlu dicolak-colek penumpang bis atau kondektur bis yang ditumpanginya selama sisa hidupnya karena menjadi bagian dari kelas bawah dan hanya mampu membayar ongkos bis kelas ekonomi.
“Kamu jangan dengarkan omelan Bu Dona. Dia memang begitu. Kalau pengen menikmati senja yang ekslusif di Bali ya nabung sedikit demi sedikit. Lagi pula, Le.. kamu masih muda dan tentunya tidak ingin selamanya jadi sopir yang diperintah, diomeli seenaknya oleh para majikan to? Menabung itu perlu. Bukan hanya menabung uang, tapi juga pengetahuan, ilmu. Dan juga iman dalam diri...” Bu Rokayah menceramahiku. Dia memang sudah seperti ibuku sendiri yang selalu membantuku bila aku dalam kesulitan, dia bahkan berani meminjamkan uang tabungannya untukku ketika aku butuh uang yang cukup banyak untuk uang kuliah Diah beberapa waktu lalu, ketika aku masih terhitung baru di rumah itu.
Terinspirasi percakapanku dengan Bu Rokayah, aku melamar jadi pekerja pabrik. Beberapa surat lamaran aku sebarkan namun di senja hari seminggu berikutnya tumpukan surat balasan dari perusahaan-perusahaan itu berdatangan ke balik pintu kamarku yang di selipkan Pak Saleh, satpam di rumah besar itu. Surat-surat itu semuanya berterima kasih karena aku telah mengirimkan surat lamaran. Hanya saja tak satu pun yang memintaku untuk diwawancara. Aku ditolak. Aku tak menyerah hingga Bu Dona membaca sebuah surat balasan untukku yang terselip diantara surat-surat untuk keluarga Bu Dona.
“Kamu berencana keluar dari pekerjaan kamu sekarang?” dia menyerahkan amplop yang telah robek itu padaku saat dalam perjalanan ke lokasi show-nya. Aku hanya membisu kecewa sekali lagi dengan sobekan pada amplop suratku.
“Kamu ingin gaji yang lebih?” lanjutnya sambil memoleskan bedak compact ke wajahnya yang telah tebal berlapis-lapis. Aku tak ingin bicara. Apakah apa yang aku lakukan hanya dinilai dengan ‘uang’? Uang. Kenapa uang begitu penting dalam hidup? Tapi haruskah uang pula yang mengatur hidup?
Di suatu senja jingga aku mendapatkan sepeda pertamaku dari Bapak ketika aku masih kelas dua SD. Suatu senja jingga aku pamit pada keluargaku untuk melancong ke Jakarta. Suatu senja jingga aku mengantar Yogi ke peristirahatan terakhirnya. Sebenarnya senja jingga tak mewakili kenangan-keanangan manis dalam hidupku. Tapi aku tetap mencintai jingga meski aku tahu jingga di senja hari adalah pertanda akhir dari sebuah hari. Satu hari akan segera berakhir ketika senja jingga tenggelam. Tak banyak orang mengerti alasan cintaku pada senja jingga dan kurasa tak semua hal perlu penjelasan dan alasan. Jadi biarkan begitu saja.