Sampah dan Cinta, yang manakah Kita?
Posted by Rerupa
Libur lebaran, saya pulang kampung seperti kebanyakan orang. Sebenarnya jarak tempuh tempat tinggal saya dengan kampung asal hanya butuh waktu sekitar 30 menit. Demi menghemat waktu dan energi untuk alasan penghidupan saya memilih tinggal di daerah yang dekat dengan lokasi kerja saya. Berkutat dengan pekerjaan dan lingkungan kerja saya yang mengerucut, makin saya tidak tahu perkembangan kehidupan di kampung. Di liburan yang cukup panjang ini saya mulai kembali mengamati orang-orang yang melintas di depan rumah. Banyak wajah-wajah asing bagi saya karena ternyata anak-anak kecil dari masa permainan saya sekarang sudah menua seperti saya. Bahkan beberapa anak dari mereka sekarang sudah beranjak remaja dan pandai mengendarai motor. Wajah-wajah asing itu juga berasal dari mereka yang menjadi pasangan para tetangga yang dulu masih bermain di halaman rumah saya atau dulu ikut antri minta angpao saat lebaran. Mereka terasa cepat sekali dewasa, atau mungkin saya yang lupa menua.
Beberapa sore ini saya tertarik dengan buntalan kresek yang selalu dijinjing suami tetangga saya. Dia selalu membawa kresek merah penuh yang ternyata berisi sampah. Karena penasaran saya pun bertanya pada bibi saya yang tinggal bersebelahan dengan rumah saya, kemana sampah itu dibuang. Bibi saya tertawa karena merasa pertanyaan saya aneh. Kebanyakan orang di lingkungan saya sekarang membuang sampahnya ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Saya mengerutkan alis mendengar TPA. Oh kampung saya berarti sekarang sudah peduli lingkungan, mereka tidak lagi buang sampah sembarangan, pikir saya.
Benar adanya di desa saya sekarang, Desa Sumberjati, kecamatan Silo, kabupaten Jember, Jawa Timur sudah memiliki petugas berseragam kuning sebagai petugas kebersihan. Mereka tiap pagi mengambil sampah di pasar Sempolan yang berbatasan dengan desa saya dan masih dalam satu kecamatan dan membuang sampa-sampah itu ke TPA.
Sore ini saya menengok TPA tersebut. Saya sakit hati melihat TPA tersebut, saya merasa sakit melihat sungai yang mengalir di bawahnya menyempit dan kotor. Kenangan saya akan masa kecil sungguh terluka. TPA itu asal-asalan, dia mengambil lokasi di tepi sungai dan itu daerah perkampungan. Ada rumah-rumah di tepi jalan di sekitar tempat itu. Di masa kecil saya, saya dan kawan-kawan suka bermain di sungai itu. Dulu airnya bening dan arusnya cukup deras, tidak penuh sampah plastik seperti sekarang yang bahkan banyak genangan yang berbau busuk.
Sore ini saya juga melihat asap sisa pembakaran sampah tersebut. Sedih bercampur marah rasanya. Entah apa yang membuat orang-orang itu merasa berhak mencemari sungai itu padahal mereka tahu di hilir banyak orang memanfaatkan air sungai itu utuk air minum. Entah siapa yang memberi ijin petugas kebersihan menggunakan bantaran sungai itu sebagai TPA? Bila petugas kebersihan berada di bawah pihak kecamatan secara struktural, tidakkah ini menjadi wewenang camat untuk memutuskan di mana TPA seharusnya? Entah juga siapa sebenarnya yang berhak untuk itu, tapi dengan akal sehat tidak bisakah kita peduli dengan nasib lingkungan kita?
Betapa kita apatis terhadap lingkungan, sulit sekali menumbuhkan kesadaran pada lingkungan di masyarakat kita yang biasa dimaja oleh kondisi alam yang maha subur ini. Dulu bungkus makanan yang dikonsumsinya dari daun jadi begitu dilempar dari jendela rumah beberapa hari kemudian sampah itu sudah jadi kompos. Tetapi sekarang, bungkus terasi saja sudah dari plastik atau kertas berlapis plastik yang tidak bisa didaurulang oleh alam sementara masyarakat kita belum 'ngeh' dan masih dalam habitus lama. Mereka masih membuang sampah sembarangan, bahkan berpikir sungai mengatasi masalah sampah karena air akan membawanya ke hilir, dan hilir itu berarti bukan di lingkungan tempat kita tinggal. Perkara sampah ini tidak hanya perkara kami di desa ini, tapi masalah Indonesia yang raya ini.
Betapa kita apatis terhadap lingkungan, sulit sekali menumbuhkan kesadaran pada lingkungan di masyarakat kita yang biasa dimaja oleh kondisi alam yang maha subur ini. Dulu bungkus makanan yang dikonsumsinya dari daun jadi begitu dilempar dari jendela rumah beberapa hari kemudian sampah itu sudah jadi kompos. Tetapi sekarang, bungkus terasi saja sudah dari plastik atau kertas berlapis plastik yang tidak bisa didaurulang oleh alam sementara masyarakat kita belum 'ngeh' dan masih dalam habitus lama. Mereka masih membuang sampah sembarangan, bahkan berpikir sungai mengatasi masalah sampah karena air akan membawanya ke hilir, dan hilir itu berarti bukan di lingkungan tempat kita tinggal. Perkara sampah ini tidak hanya perkara kami di desa ini, tapi masalah Indonesia yang raya ini.
Cara berpikir bahwa setelah sampah keluar dari rumah kita adalah bukan masalah kita lagi bisa berarti kepekaan terhadap sesama bangsa kita masih rendah atau kita adalah bangsa yang 'tak sadar' . Tak sadar di sini berarti terjebak dalam habitus lampau ketika sampah yang dihasilkan masih dengan mudah bisa berubah jadi kompos. Kita mungkin terlalu mengagungkan warisan masa lalu tanpa memetakan ulang keberadaan kita di masa ini. Dengan kata lain bangsa kita massih terlena dan mandul pikir karena hanya sibuk dengan konsumsi yang menjadikan kita hanya tercatat sebagai pasar, bukan produsen. Negeri sesubur ini justru jadi tempat sampah negara-negara curang. Garmen sisa pakai saja marak dijual di sini dan pabrik garmen sendiri terus merugi atau memilih menjual produknya ke negara lain yang nanti mungkin juga akan menjual sisa pakainya ke mari. Mulai dari kondom bekas hingga peralatan elektronik bekas yang juga mengandung alat-alat beracun dan membayakan lingkungan dibuang ke negara ini. Bahkan produksi beberapa jenis tanaman yang terlarang di negara-negara maju, sekarang populer di Indonesia dan digemari petani karena menghasilkan uang yang banyak. Mereka impor dari kita, alam kita yang kemudian rusak. Sebut saja tanaman sengon, tanaman ini menghisap kandungan mineral tanah dengan ganas hingga bekas tanamnya tidak lagi subur. Kelapa sawit yang dirangkul perusahaan-perusahaan raksasa di luar Jawa itu juga sejenis tanaman yang merusak lingkungan, uang seolah akan menghidupi kita yang mortal ini selamanya.
Kita akan menjadi bangsa yang kehilangan kehormatannya sebagai manusia berbangsa dan beradab bila terus terlena dengan suguhan alam yang subur ini. Alam kian ringkih ketika otak kita terus-menerus kita istirahatkan saat berdialog dengan hati. Kembali pada premis kuno namun masih relevan untuk hidup saat ini; Hidup butuh uang tetapi jangan biarkan uang mengendalikan hidup. Semesta ini milik kita bersama dan butuh untuk kita perhatikan bersama. Semesta memelihara kita, maka kita pun wajib memelihara semesta. Begitulah cinta seharusnya, yang merupakan bagian dari kemanusiaan kita.
Selamat memelihara alam sebagai wujud kecintaan kita pada hidup.
Salam
Hat Pujiati