{Rerupa}

Rerupa Blog | Created By Www.BestTheme.Net

Dialog Jilbab, Sastra dan Budaya

Posted by Rerupa

Oleh Hat Pujiati
*Tulisan ini juga dipublikasikan di Balipost

Di tahun sembilan puluhan, bila Anda pergi ke kota-kota besar di Indonesia akan dapat menjumpai perempuan-perempuan muslim berpenutup kepala yang disebut jilbab di tempat-tempat umum. Bentuk-bentuk jilbab dan pemakaiannya itu biasanya simetris, namun hanya sejumlah kecil yang tampil dengan jilbab di beberapa tempat kerja, bahkan pegawai bank dulu terlarang mengenakan jilbab. Dengan demikian perempuan muslim harus mempertimbangakan banyak hal sebelum mengenakan jilbab ketika itu. Unsur ideologis yang terhubung simetris dengan agama kerab menjadi alasan utama pilihan gaya berpakaian sejenis ini. Akan tetapi saat ini, sampai ke pelosok negeri di Indonesia akan mudah dijumpai perempuan muslim berjilbab. Salah satu alasannya adalah kemudahan-kemudahan akses pada dunia publik tidak lagi sesulit era sembilan puluhan awal bagi perempuan berjilbab. Ruang-ruang aktifitas ekonomi tidak lagi keberatan dengan penutup kepala pelaku perempuan. Kontrol sosial juga tidak lagi ketat terhadap pemakaian jilbab yang selang seling, sehari pakai besoknya lepas lagi, atau dipakai hanya ke tempat kerja atau sekolah, kuliah dan akses-akses publik mereka. Bahkan foto-foto di akun facebook mereka juga tanpa jilbab dengan pose-pose Britney Spears, Beyonce, atau Jessica Alba  sudah menjadi hal biasa, sementara dulu hal semacam ini merupakan sebuah tabu bagi yang berjilbab dan akan mendapatkan stigma negatif dari lingkungan  sosialnya karena dianggap tidak loyal, mengkhianati ideologi yang terbalut di balik jilbab.
selanjutnya klik di sini


Jilbab yang merupakan selembar kain sebagai penutup kepala perempuan muslim untuk menutupi auratnya menjadi kode yang mengambil jarak dengan pakaian lain. Dia membangun register tersendiri yang berjarak dengan you can see, tanktop, rok mini, dan pakaian-pakaian yang tidak menutupi kulit selain wajah, tangan dan telapak kaki. Jilbab adalah reifikasi ideologi religius, dia mewujud untuk menguatkan yang abstrak (ada dalam tataran ide) dan memanggil subjek-subjek lain. Akan tetapi perubahan stereotype terhadap perempuan berjilbab seperti uraian saya sebelumnya menggeser ideologi jilbab sebagai reifikasi idelogi religius menjadi fashion.
Seorang teman diskusi saya mengatakan bahwa ‘Bila tadinya jilbab bentuk dan pemakaiannya juga menciptakan bentuk-bentuk simetris yang mengisyaratkan hubungan simetris antara tampilan dengan ideologi religius  di baliknya, saat ini muncul tren dengan bentuk dan gaya-gaya asimetris (model dan cara pakainya yang bertumpuk-tumpuk dan dililit-lilit) yang mengindikasikan pergeseran ideologinya pada fashion. Dengan demikian tidak bisa ditarik lurus antara perempuan berjilbab dengan perilaku Islami sebagai sebuah kepastian saat ini.’ Saya sependapat dengan analisisnya. Bila dalam konstruk pemikiran awal jilbab dibaca sebagai alat kontrol misoginist terhadap perempuan demi kelanggengan kekuasaan patriarki, kemudian ketika ideologi fashion merasukinya membuat jilbab kerab menjelma jadi sebuah silent resistance bagi sebagian pemakainya untuk mengambil posisi sebagai penguasa atas tubuhnya dan kepentingannya di ruang publik dan domestik, menjadi ruang pembebasan.

Keluwesan sikap masyarakat Indonesia terhadap jilbab tak ubahnya pada budaya-budaya lain yang bercampur aduk beredar di lingkungan mereka. Dan bangsa kita adalah bangsa yang inovatif secara budaya semenjak dulu kala. Katakanlah melihat pakaian adat Minang, tidakkah Anda melihat jejak India, Cina, dan Arab? Tetapi Minang bukan Cina, bukan India atau pun Arab. Atau ketika melihat tradisi selamatan di Jawa dengan tumpengnya, ketika melihat Bali? Jejak apa sajakah di sana? Dan itu Jawa, itu Bali, bukan jejak-jejak budaya lain. Demikian pula dalam hal jilbab di Indonesia, perempuan berjilbab di Indonesia punya gaya tersendiri yang bukan Arab, bukan Mesir, atau pun India. Mereka berjilbab dengan gaya Indonesia yang merupakan rangkuman dari Barat, Timur Tengah dan daerah-daerah di Indonesia. Semisal berjilbab dengan pakaian ketat membentuk tubuh, dengan warna-warna menarik yang membuat pemakaian kian eksotis, pakaian-pakaian dengan lengan tiga per empat, celana ketat yang tidak biasa dipakai perempuan muslim berjilbab di negara-negara Timur Tengah tapi diimpor dari Barat dan eksplorasi dari yang ada di negeri sendiri kemudian dikreasikan menjadi budaya jilbab Indonesia.

Lantas seperti apakah jilbab dalam wajah sastra Indonesia? Terima kasihlah pada Helvy Tiana Rosa dengan perjuangannya mempopulerkan sastra di kalangan muda Islam dengan Forum Lingkar Penanya (FLP). Tulisan-tulisan mereka yang masal dan dibarengi kemunculan jejaring munculnya karya di ruang publik (diterbitkan sebagai buku atau difilmkan) di bawah kanopi ideologi senada memberikan sumbangan warna pada bentuk kesusastraan Indonesia sekarang. Tokoh-tokoh berjilbab dengan ideologinya, dengan permasalahan seputar hidup mereka dalam negosiasinya dengan dunia tanpa jilbab menjadi akrab dengan pembaca Indonesia dan juga memberikan keniscayaan bagi penulis pemula untuk menjadi penulis produktif dalam jejaring FLP. FLP menumbuhkan budaya aktif, bukan hanya mengajak komunitasnya membaca tetapi juga menulis, bukan sekedar pasar tetapi juga produsen. Di luar FLP juga bermunculan gerakan sastra serupa, sebut saja Ayat-Ayat Cinta yang sempat meledak di pasaran baik dalam bentuk buku mau pun film. Bila sastra Indonesia tadinya berkiblat pada Barat, sebut saja Saman-nya Ayu Utami yang mencari kebebasan ke New York,  mengandaikan sumber ketenangan jiwa ada di Barat, karya-karya berbau Islam justru menawarkan kebaruan pada ke-Timur-an. Ayat-Ayat Cinta menawarkan kiblat baru bagi pemikiran akan sumber pengetahuan yang akan mengantar pada ketentraman jiwa, yaitu negeri Timur Tengah. Kisah cinta romantis juga menjadi tema yang diusung untuk menjembatani Barat dan Timur yang semula tidak populer dalam kerangka sastra dengan nuansa Islami.

Sastra bagian dari kebudayaan kerena menggunakan bahasa sebagai media, dan bahasa tidak dapat diceraikan dari budaya. Kebiasaan-kebiasaan sekelompok orang yang dilakukan terus-menerus kemudian menjelma apa yang disebut budaya. Namun sastra sebagai produk dari peradaban sebuah bangsa menjadi dangkal ketika direduksi pada label-label sederhana seperti misalnya sastra FLP yang ditulis teman-teman di forum tersebut, sastra Utan Kayu karena lahir dari komunitas Utan Kayu, atau pun sekedar sastra Bali yang diwakili Oka Rusmini karena di dalamnya berbicara Bali yang menjadikan sastra hanya milik satu komunitas atau satu kelompok tertentu sehingga bisa mengundang sentimen kelompok. Bila sentimen ini yang mendominasi, maka sastra tersebut pun gagal menjadi sastra. Jadi sastra ya sastra saja. Tanpa label kelompok. Sastra bukan sekedar milik sekelompok orang, sastra merupakan ruang dialogis budaya yang memberikan kekayaan pengetahuan bila kita menimbanya tanpa pretensi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu, tanpa diskriminasi salah-benar atau pun baik-buruk.

Perubahan-perubahan terjadi dalam bentuk-bentuk dan isi sastra serta pemaknaannya seiring perkembangan pikir manusia dan perubahan ekonomi, sosial, dan politik sebuah bangsa. Seperti Jilbab yang berubah jadi fashion sebagai ideologi, seperti kepiawaian bangsa kita meramu kebudayaan menghasilkan kebaruan, begitu juga sastra kita. Kesusastraan kita selain mengikuti pasar juga diikuti pasar dalam perubahannya. Pelaku sastra adalah insan-insan kreatif yang terus menegosiasikan wacana-wacana alternatif menggugat yang terkultuskan. Sastra yang ada di tataran super struktur dalam kerangka Marxist, bergerak di tataran ide yang tak kasat mata namun ide lah yang menjadi pondasi tindakan manusia yang kemudian juga mampu mengubah yang infrastruktur. Gerakan sastra yang dipelopori mereka yang berjilbab di Indonesia, yang semula dipandang sebagai pihak yang terbelenggu justru menunjukkan kekuatannya sebagai variabel aktif yang membawa perubahan, yang membebaskan.


Leave a Reply