Enchanted: Representasi Kolaboratif dan Transformatif Perempuan Negeri Dongeng; Cinderella dan Snow White
Posted by Rerupa
Oleh Hat Pujiati[1]
*Tulisan ini telah dipublikasikan dalam Jurnal ilmiah edu.id golume 1, nomor 1, Maret 2010 (ISSN: 2085-872801)
Abstract
Through a postmodernist paradigm, this text discusses about a transformation of women’s stereotypes and roles from fairy tales, especially in Cinderella and Snow White, to women’s representations in a novel entitled Enchanted. The representation of the Women’s stereotypes and roles in this discussion relates to the development of world economics system as the modes of production change in the society. However, the transformation occurs in the representation is not a kind of shifting from the old to the new representations but it is a collaborative one; the old and the new ones are represented simultaneously in the novel.
Keywords: postmodernist paradigm, women’s stereotypes and roles, economics system, representation, transformation, society.
untuk selengkapnya silahkan klik di sini
1. Awalan: Daur ulang Dongeng Lama dalam Cerita Baru
Dari waktu ke waktu dongeng Cinderella ditransformasikan, didaur ulang dalam berbagai kisah. Popularitasnya mewujud dalam berbagai bentuk. Kemajuan teknologi juga menjaga kelanggengannya, jika dulu dongeng Cinderella hanya merupakan cerita dari mulut ke mulut, saat ini cerita Cinderella hadir dalam bentuk film, lagu, dan buku dengan variasi-variasi yang beragam. Cinderella pun menginterteks berbagai karya seni, termasuk sinetron Indonesia beberapa tahun terakhir menjadi penuh dengan cinderella complex. Mimpi Cinderalla menjadi komoditas yang menjajikan bagi pelaku bisnis hiburan.
Dongeng sejenis Cinderella yang juga menawarkan keajaiban-keajaiban adalah cerita Snow White yang menceritakan tentang gadis korban kejahatan ibunya, hidup menderita namun akhirnya dinikahi oleh seorang putera raja. Pernikahan akhirnya membebaskannya dari kemalangan yang menimpanya dan menggantikan itu dengan kebahagiaan abadi yang dijalani kemudian.
Sementara itu Enchanted adalah film Disney diproduksi tahun 2007 juga merepresentasikan kesamaan-kesamaan dengan cerita Cinderella dan Snow White yang populer tersebut[2]. Kesuksesan dari ‘dongeng baru[3]’ yang memukau publik ini pun dilanjutkan ke transformasi buku dengan berbagai versi penceritaan yang ditujukan pada anak-anak dan remaja. Dalam kajian berikut ini Enchanted yang akan dijadikan objek materi adalah versi novel oleh Jasmine Jones yang dikategorikan novel remaja[4].
Cinderella, Snow White dan Enchanted sama-sama menempatkan perempuan sebagai tokoh utama dalam cerita. Dalam Cinderella ada Cinderella sebagai tokoh utama yang bermasalah dengan ibu tiri dan saudara-saudara perempuan tirinya dan dalam Snow White juga terdapat ibu yang jahat. Cerita-cerita tersebut bergerak dalam lingkup permasalahan dunia perempuan, laki-laki hadir pada penyelesaian masalah dan berperan sebagai ‘penyelamat’. Enchanted yang mengkolaborasikan antara cerita Cinderella dan Snow White juga menghadirkan hal yang sama; dunia perempuan. Hanya saja Enchanted sebagai kolaborasi dua dongeng terkenal dunia tersebut mentransformasikan representasi perempuan di dalamnya dalam alur cerita yang berbeda.
Transformasi film Enchanted ke dalam bentuk novel dan buku-buku cerita anak dengan kemasan mudah dibawa dan sekali baca ini menarik perhatian saya hingga mengundang pertanyaan. Selain perpanjangan tangan kapitalis untuk mengejar audiens—yang ditengarai sebagai hal negatif dalam perkembangan sastra karena orientasinya pada uang—ideologi apakah yang tersimpan dibalik dongeng tersebut? mengapa representasi perempuan yang diakrabkan pada anak-anak sebagai generasi penerus ini hadir dalam bentuk yang ditawarkan Enchanted?Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan coba dijawab dalam tulisan ini melalui metode bandingan antara dongeng baru Enchanted dan dongeng-dongeng yang menginterteksnya dengan pendekatan feminis dan paradigma posmodern. Fokus dari perbandingan ini adalah mengenai stereotipe tokoh utama perempuan yang tercermin di dalamnya dan masyarakat seperti apakah yang menghasilkan stereotip mengenai perempuan dalam cerita-cerita tersebut.
2. Interteks Dua Dongeng Dunia dalam “Enchanted”
Teks adalah jaringan kutipan-kutipan yang telah ada di masa lalu dan interteks adalah keterkaitan sebuah teks dengan teks-teks lain yang ada sebelumnya. Menurut Barthes, semua teks adalah a new tissue of past citations (Barthes:1981;39). Intertektualitas ini tidak bisa dipermasalahkan mana yang asli dan yang bukan, karena jaringan dan keberpilinan teks yang terbentuk merupakan paduan baru, kutipan-kutipan dari teks lain itu hanya sebagian kecil sehingga membentuk teks baru ketika dikolaborasikan dengan kutipan dari teks lain. Seperti yang dikatakan Julia Kristeva (Kristeva: 1980; 65-6) bahwa karya sastra tidak pernah lahir dari kekosongan tetapi dia merupakan respon terhadap teks yang telah ada. Jadi karya sastra tidak bisa lepas dari sejarah sastra. Begitu juga Enchanted yang lahir setelah kelahiran Cinderella dan Snow White, bagian-bagian cerita itu terrekam di dalam Encanthed tetapi hanya sebagian. Bagian-bagian dua dongeng pendahulunya tersebut berpadu-padan dengan kebaruan-kebaruan pemikiran yang terwacanakan dalam era terciptanya Enchanted. Pemikiran-pemikiran tersebut bisa sebagai penegasaan atas yang terdahulu tetapi bisa juga sebagai counter atas ide yang ada dalam karya pendahulunya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa cerita baru ini hanya berdiri pada satu sisi sebagai pendukung atau counter saja, ada ambivalensi di dalamnya, antara mendukung dan melawannya.
Francois Jost dalam Introduction to Comparative Literature juga menawarkan konsep pengaruh atau analogi di dalam karya sastra yang menyatakan adanya keterhubungan (interrelationship) antara satu karya dengan karya lain dari satu genre sastra atau pun dari bidang lain. Bagaimana dan seberapa tingkat serapan sebuah karya pada karya-karya lain adalah masalah yang menurut Jost perlu diperhatikan (Jost:1974;33-40). Keterhubungan Enchanted dengan Cinderella dan Snow White berupa persamaan-persamaan yang muncul di dalam karya namun ternyata juga menawarkan posisi-posisi tawar atau counter terhadap dongeng-dongeng tersebut yang dapat kita lihat dalam uraian berikut.
2.1 Perempuan dalam Cinderella versus Enchanted
Dalam Cinderella terdapat tokoh ibu tiri dan saudara-saudara perempuan tirinya yang jahat. Mereka semua memperlakukan Cinderella seperti pembantu di rumah itu. Pekerjaan rumah menjadi hukuman yang harus dijalaninya setiap hari, artinya kegiatan domestik sejak dulu dinilai berat untuk dilakukan sendiri. Derita Cinderella berakhir saat seorang pangeran tampan menikahinya, hal ini dapat dibaca bahwa laki-laki memiliki kekuasaan yang lebih besar dari perempuan. Akan tetapi ini tidak berlaku pada ayah Cinderella, dia tidak berkuasa pada Cinderella karena pembagian lingkup keduanya. Cinderella menjadi urusan sang ibu tiri sebagai penguasa domestik sedangkan sang ayah bergerak di lingkup publik. Wilayah domestik yang terbatas pada pembagian kekuasaan itu membuat perempuan harus bersaing ketat untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih dari sekedar wilayah domestik, salah satu cara mencapai itu adalah dengan menikahi laki-laki yang punya kekuasaan.
The poor girl bore it all patiently, and dared not tell her father, who would have scolded her; for his wife governed him entirely.
…
they hadn't eaten a thing for almost two days. Then they broke more than a dozen laces trying to have themselves laced up tightly enough to give them a fine slender shape
Kutipan tersebut membuktikan kuasa ibu tiri Cinderella pada suaminya dan bahwa demi kekuasaan yang lebih, perempuan-perempuan ini rela menyiksa fisiknya agar tampil cantik—agar bentuk tubuhnya tampak lebih ramping, saudara tiri Cinderella rela tidak makan selama dua hari. Ideologi yang terkandung dari tindakan mereka adalah bila cantik, mereka bisa menikah dengan sang pangeran yang artinya dia bisa memiliki kekuasan lebih dari sekedar kekuasaan domestik. Menikah dengan raja berarti ada kesempatan untuk mengontrol putra mahkota untuk kepentingan-kepentingannya, bahkan ada kesempatan memimpin negeri jika raja lengser sebelum putra mahkota cukup usia. Walau pun kenyataannya dengan cara tersebut perempuan itu memilih posisi tersubordinasi.
Di dalam Enchanted, ada juga kehadiran ibu tiri tetapi bukan ibu dari tokoh perempuan, melainkan sebagai ibu Edward yang memimpin negeri tersebut sementara Edward belum siap memimpin. Narissa, ibu tiri Edward ini memegang kekuasaan di negeri tersebut dan juga memiliki kekuatan magis. Berbeda dengan ibu tiri Cinderella yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam lingkungan sosialnya. Kesemena-menaann ibu tiri Cinderela terjadi dalam ranah domestik dan hanya terhadap Cinderella, sementara Narissa juga berusaha mencelakai Giselle yang bukan anak tirinya tetapi calon menantunya.
Secara fisik Cinderella juga digambarkan cantik dan bisa memiliki pakaian mewah untuk bisa bersaing dengan perempuan lain di pesta dansa. Ada peri pelindung yang memberikan keajaiban agar Cinderella bisa tampil mewah dan cantik dalam keterbatasan jangkauannya untuk mendapatkan pakaian dan dandanan yang cantik saat dia hendak menghadiri pesta dansa. Sedangkan dalam Enchanted bukan peri baik hati yang menolong Giselle untuk tampil cantik dalam pesta tersebut, tetapi kartu kredit emas milik Robert yang dipakai Morgan untuk belanja.
Giselle knelt down to look Morgan in the eye. “ I need your help!” she said desperately. “I’m going to the ball, and I’m not sure what to do or what I should wear, and I don’t even know where to find a fairy godmother at this late hour!”
“I have something better than a fairy godmother!” Morgan said, taking Gisselle by the hand. Morgan led Giselle into Robert’s bedroom. She pulled a gold credit card out of his sock drawer. “Daddy says it’s only for emergencies,” Morgan whispered. “This is defnitely an emergency!”
...
Three hour latter, they had it all: dress, bag, shoes, hair accessories, lingerie,makeup, jewelry, perfume...”
(Jones,2007;123-5)
Ideologi yang juga tertangkap dari Cinderella dan Enchanted ini adalah bahwa perempuan harus cantik dan untuk menjadi cantik perlu modal. Dalam dongeng Cinderella modal yang ada adalah magis dari peri pelindungnya, sedangkan dalam Enchanted modal yang dibutuhkan oleh Morgan, yang besar di Manhattan dan didik rasional oleh ayah dan juga lingkungannya menjadi penolong Giselle, adalah uang sebagai pembawa keajaiban bagi sang putri yang malang itu. Morgan sadar bahwa di dunianya fairy godmother itu hanyalah harapan kosong. Hal ini berartinya pula bahwa Morgan bisa membedakan mana yang merupakan dongeng dan mana yang dunia nyata. Dia sadar bahwa ada dunia-dunia yang harus dia pilah dan masing-masing dunia menuntut penyikapan berbeda[5]. Lebih jauh lagi, ideologi yang tersimpan dari bagian cerita ini adalah bahwa di saat-saat darurat uang bisa menjadi bantuan yang sangat berarti, dan untuk mendapat uang harus bekerja, bukan mengharapkan keajaiban yang tidak pasti, ideologi inilah yang membedakan dengan representasi magis dalam Cinderella.
Kecantikan fisik Cinderella juga lah yang akhirnya menuntunnya pada kekuasaan. Karena ia cantik dia mengalahkan perempuan lain yang kalah cantik dari dirinya, termasuk saudara-saudara tirinya. Hal ini berarti bahwa “yang kalah cantik” akan tersisih, untuk memenangkan kompetisi perempuan dituntut cantik. Cinderella dinikahi pangeran karena pesonanya yang tertangkap dari kesan pertama. Sementara di dalam Enchanted kecantikan Giselle juga digambarkan mempesona seisi ruang dansa tersebut. Akan tetapi, Giselle menikah dengan cinta sejatinya, Robert, bukan karena pandangan pertama melainkan karena proses dan kebersamaan mereka sebelumnya yang menumbuhkan benih-benih perasaan di antara mereka. Ideologi modernisme yang terselip pada bagian cerita ini adalah ideologi rasionalitas. Pernikahan tidak bisa dilakukan hanya dengan modal pandangan atau kesan pertama melainkan memerlukan proses pengenalan dan juga perlu memastikan perasaan masing-masing sebelum menikah, dan itu membutuhkan waktu yang tidak hanya sehari seperti yang terjadi antara Giselle dan Edward di Andalasia.
“You’re getting married to someone after one day?” Robert couldn’t believe his ears. “Because you fell ‘in love’ with him?”
“Yes”
Robert shook his head in amazement. This was so very lie Giselle—unbelievable and fantastical. The woman was going to drive him batty! Didn’t she know that love din’t happen in a day?
(Jones,2007:81-2)
...
“But most marriages are considered a success if they manage to not end, period. Forget about happiness.”
(Jones,2007: 86)
Bagi Robert, keputusan-keputusan yang dibuat dalam hidup haruslah melalui proses perenungan dan berpikir secara seksama, jadi tidak hanya mengandalkan rasa. Pernikahan juga bukan sekedar sebuah kesepakatan atau komitmen seperti yang berusaha dibangun oleh Robert dan Nancy. “ Robert thought his relationship with Nancy was smart and pactical. Just the way he liked it (halm.27)”. Rasio dan perasaan perlu diklaborasikan secara imbang, setidaknya itu yang bisa ditangkap dari pernikahan Robert dan Giselle.
Giselle stared at the ballroom. What about happily ever after? She thought desperately. But it was clear that she hadn’t reached that part yet. She had no choice—she had to do something, or her chance at happiness would be gone forever. She hurried down the stairs, nearly tripping over Edward’s sword.
(Jones,2007:146)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ketika tampaknya tidak ada pilihan, sebenarnya di sana ada pilihan yaitu dengan melakukan sesuatu dengan berani mengambil resiko mimpi itu tidak tercapai. Giselle memilih menyelamatkan Robert yang dibawa monster Narrisa dan meningglkan Edward yang tak berdaya. Dia sadar bahwa dengan memilih Robert, dia harus mengorbankan kehidupan bahagia selamanya yang hanya bisa dia dapat di Andalasia. Akan tetapi kebahagiaan itu tidak lagi diukur dengan ‘selamanya’, tapi bagaimana dia mau menjalani kebahagiaan tersebut, tidak penting berapa lama. Ini menunjukkan keberanian mengambil keputusan pada tokoh perempuan, bahwa perempuan bukan sekedar pemain yang selalu mencari ‘posisi aman’. Perempuan juga pemberani dan petualang, perempuan juga bisa memilih bukan dipilih seperti Cinderella. Sepatu kaca yang tertinggal menjadi petunjuk sang pangeran untuk menemukan Cinderella, artinya Cinderella sendiri pasif, sepatu itu tertinggal tanpa sengaja. Cinderella dicari dan dipilih atau terpilih, bukan memilih.
Kesamaan yang lain antara Cinderella dan Enchanted adalah kekuatan magis peri baik hati yang menolongnya akan berakhir pada tengah malam sehingga Cinderella berlari terbirit begitu tengah malam tiba. Sepatu kacanya juga tertinggal di lantai dansa. Begitu pula kekuatan magis Narissa yang akan membunuh Giselle jika saja sampai dentang jam yang kedua belas dia tidak dicium oleh cinta sejatinya.
Giselle bergegas lari mengejar monster jelmaan Narissa yang membawa Robert hingga sepatu kacanya tertinggal sebelah di lantai dansa.
..., Nancy Wandered aimlessly. The guest had left, and the musicians were packing up their instruments. Looking down, she spotted one of Giselles’s glass shoes. The other had disappeared in the chaos. Nancy thought about her high hopes for the ball. Things hadn’t turned out quite the way she had wanted...Hot tears welled in her eyes, and she sank to the floor.
“Why so sad, beautiful lady?”
Prince Edward wasstanding over her. He held out a white handkerchief, which Nancy gratefully accepted.
“I think Giselle forgot her shoe,” she said, holding up the slipper. She laughed sadly. “Figures.”
Without a word, Edward removed one of Nancy’s shoes. In it’s place, he put the glass slipper. “It’s a perfect fit,” he said with a smile.
(Jones,2007:152-3)
Cinderella memiliki pasangan sepatunya sebagai bukti bahwa dialah pemilik sepatu kaca itu dan dia lah yang telah berdansa dengan pangeran di pesta dansa itu, untuk menunjukkan bahwa dialah pemenang. Nancy sebaliknya. Dia menatap sepatu kaca itu dengan sedih dan jelas ia merasa sebagai yang kalah. Harapannya lenyap begitu melihat cinta Giselle dan Robert. Dia hanya menemukan sebelah sepatu Giselle sang pemenang, tapi Edward tidak membuatnya menjadi yang kalah. Mereka menuju Andalasia dimana kebahagiaan yang abadi ada di sana, Edward dan Nancy menikah dan dalam epilog disebutkan bahwa Nancy di Andalasia kemudian di kenal sebagai ratu yang baik hati (Queen Nancy the Kind). Enchanted sebagai sebuah postmodernist fiction[6] tidak menjadikan Nancy sebagai ‘the other’ meski pun dia kalah bersaing dengan Giselle. Nancy dimenangkan di dunia lain, yaitu Andalasia. Dia tidak memenangkan Robert bukan karena dia jahat atau pun karena dia kalah cantik tapi karena Robert mencintai Giselle dan sebaliknya. Karena Robert dan Nancy memiliki ketidakcocokan di beberapa segi sehingga sulit untuk bersatu, dan karena pernikahan bukan hanya sekedar komitmen seperti yang mereka miliki. Perasaan di antara mereka tidak lagi terhubung dan mereka sadar bahwa pernikahan memang bukan sekedar kompromi. Berbeda dengan saudara dan ibu tiri yang menjadi ‘the other’ di dalam dongeng Cinderella, mereka di biarkan menjadi yang kalah pada akhir cerita[7].
2.2 Ranah Domestik “Snow White”, “Cinderella”, dan “Enchanted”
Dongeng Snow White[8] yang juga eksplisit menginterteks Enchanted adalah bagian penyamaran ibu menjadi nenek yang memberikan apel beracun. Narissa juga melakukan hal yang sama dalam Enchanted. Apel tersebut membuat Giselle tertidur dan jika melampaui jam 12 malam dia belum juga tersadarkan maka dia akan mati. Satu-satunya yang bisa menyadarkannya adalah ciuman, true love kiss, dari seorang pangeran yang dicintainya.
Ratu, ibu Snow White yang memiliki kaca ajaib, sangat cemburu terhadap putrinya itu ketika kaca ajaib mengatakan bahwa Snow White-lah yang paling cantik di dunia. Snow White menyaingi kecantikan sang ratu maka Snow White pun diperintahkan untuk dibunuh. Akan tetapi sang pembunuh tidak sampai hati untuk membunuhnya dan melepaskan gadis kecil itu di hutan. Di masa persembunyiannya dia hidup dengan tujuh kurcaci dengan syarat dia harus memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, sebagai imbalan Snow White bisa mendapat apa yang dibutuhkannya. Dalam hal ini kerja domestik di sini sudah dinilai ekonomis, memasak, melakukan pekerjaan rumahan pun merupakan pekerjaan yang layak diberi imbalan.
The stepmother was furious and, wild with jealousy, began plotting to get rid of her rival.
…
"You can live here and tend to the house while we're down the mine…”
…
Sedangkan dari versi Grimms, nilai ekonomis pada kerja domestik itu lebih eksplisit digambarkan sebagai berikut;
"If you will keep house for us, and cook, make beds, wash, sew, and knit, and keep everything clean and orderly, then you can stay with us, and you shall have everything that you want.
Kurcaci dan Snow White tidak ada hubungan keluarga—berbeda dengan apa yang dilakukan ibu rumah tangga atau anak perempuan di dalam keluarga—mereka asing dan hubungan mereka adalah dalam konteks ekonomis, Snow White di sini sebagai pekerja. Hanya saja kemasan hubungan majikan dan pekerja ini lebih lunak, ada emotional connection antara mereka, ada persahabatan dan ketulusan untuk saling membantu. Pekerjaan domestik Snow White ini berbeda dengan Cinderella yang melakukan pekerjaan domestiknya di bawah tekanan ibu dan saudara-saudara tirinya. Cinderella tidak mendapatkan imbalan yang layak dari ‘majikannya’. Sementara Giselle dalam Enchanted melakukan pekerjaan domestik bersama teman-teman barunya di Manhattan—kecoak, tikus, merpati, kelinci—dengan senang hati, tanpa paksaan atau pun keharusan dari siapa pun, hanya karena dia mau, karena dia melihat tempat itu berantakan. Artinya dalam diri Giselle, mitos bahwa perempuan lah yang berkewajiban membereskan rumah dan menangani urusan domestik sudah menghegemoni dirinya, mitos tersebut menjadi wacana yang mapan sehingga menarik pelaku-pelakunya dengan mudah dan menormalisasinya—menjadi sebuah common sense.
The animal worked their hardest—the rats linked the dirty dishes clean, and the pigeons flapped the dust bunnist out the windows. The cockroaches worked as a team to carry out the garbage bags; then everyone headed to the bathroom. As they worked, Giselle continued to sing a happy tune. Even as she scrubbed the floor, she hummed and smiled.
(Jones,2007:48).
Tiga kali usaha sang ratu untuk mencelakakan Snow white selalu berhasil karena Snow White selalu tertipu dengan penyamaran sang ratu. Akhirnya dia diracuni dengan apel hingga tidak bisa ditolong oleh para kurcaci. Snow White pun dikira mati dan dimasukkan dalam peti kaca. Suatu hari, peti kaca berisi jasad Snow White itu diminta pangeran untuk di bawa ke kerajaannya dan akan dicarikan dokter terbaik di sana guna menyembuhkan Snow White yang begitu cantik sehingga pangeran itu tidak tega melihatnya terbujur mati. Kecantikan Snow White tidak bisa menahan pangeran tersebut untuk tidak menciumnya. Keajaiban pun terjadi, gadis itu membuka matanya dan hidup kembali. Kemudian mereka menikah dan hidup bahagia dengan sang pangeran selamanya.
Giselle, dalam Enchanted, juga coba diracuni Nathaniel, punggawa istana yang jatuh cinta pada Narissa. Nathaniel diperintahkan oleh Narissa untuk mencelakakan Giselle agar terpisah dari Edward, Nathaniel mau melakukan semua dengan iming-iming hidup yang bahagia selamanya bersama Narissa. Tiga apel yang dikirim Narissa dengan kekuatan saktinya dari Andalasia ke New York di mana Nathaniel sedang berada mendampingi Edward, diusahakan termakan oleh Giselle melalui berbagai penyamaran. Akan tetapi usaha Nathaniel tidak berhasil sehingga Narissa datang sendiri ke New York mengingat apel beracun itu tinggal sebuah dari tiga yang diberikan pada Nathaniel. Narissa menjelma menjadi nenek tua yang menghampiri Giselle yang sedang sedih melihat Nancy dan Robert berdansa. Giselle jatuh cinta pada Robert namun ia sadar bahwa itu tidak mungkin karena masing-masing dari mereka telah memiliki pasangan yang akan segera menikah.
Looking down, Gisselle watched as Nancy leaned in to kiss Robert. Giselle felt as if her heart had been torn in two.
...
“I’m so glad to see you, child,” said the hag. I’ve been so very worried! Such a terrible accident, your coming to this place.” Her eyes glittered like hard stone as she peered at the dancers below. With so much sadness. So much pain. Oh yes. To never be with the one you love, doomed to be with another...
...
one bite, my love, and all this will go away. Your time here, the people you’ve met. You won’t remember anything. Ujst sweet dreams and happy endings. But you must hurry! The magic won’t work unless you take a bite before the clock strikes twelve”
Giselle cast another glance at Robert. He was still dancing with Nancy, holding her close. The she looked at the apple. Don’t I want to forget? Giselles thought. Isn’t it easier for everyone that way? She lifted the apple to her lips.
(Jones,2007:134-5)
Nenek tua jelmaan Narissa menawarinya apel yang akan membuatnya melupakan semua perasaannya saat itu, dan Giselle menerima itu. Bila Snow White tidak sadar dengan apel yang dimakannya beracun, Giselle sebaliknya. Dia sengaja menerima tawaran apel itu untuk melupakan kesedihannya, dia tidak tertipu. Menjadi terpengaruh mantra Narissa merupakan pilihanya, hal ini merepresentasikan bahwa Giselle tidak mudah ditipu, dia ada di posisi tawar dan menyadari posisi tersebut. Melupakan kesedihannya dengan cara yang ditawarkan jelmaan Narissa merupakan keputusannya, bukan karena tertipu.
Snow White memiliki kecantikan fisik yang membawa petaka. Dia harus dikejar-kejar oleh ibunya yang iri terhadap kecantikannya. Dongeng ini merepresentasikan perkara kecantikan sebagai urusan penting bagi perempuan, bahkan itu sampai menyangkut urusan hidup dan mati. Karena kecantikan juga lah yang akan membuat perempuan diperhatikan, dicintai, dan untuk disayang oleh laki-laki—pangeran. Kecemburuan sang ratu menguatkan wacana perempuan sebagai makhluk emosional yang ujung-ujungnya laki-laki lah yang datang sebagai penyelamat. Penjahat negeri dongeng dari tiga cerita ini adalah tokoh perempuan yang hadir dengan penuh rasa iri, ketakutan akan kegagalan, emosional, enggan bersaing secara sehat yang artinya perempuan-perempuan itu tidak punya kemampuan yang ‘menjual’ maka ia akan melalakukan usaha-usaha yang ‘kotor’. Stereotip bahwa perempuan adalah emosional dan tidak cerdas pun menguat dalam cerita-cerita tersebut.
Josephin Donovan, seorang feminis yang konsen pada masalah citra perempuan dalam artikelnya yang berjudul Beyond the Net: Feminist Criticism as a Moral Criticism[9] mengatakan bahwa tokoh perempuan selalu sebagai pelengkap laki-laki, perempuan dipasang dalam penokohan yang biner, ada perempuan yang jahat dan baik sekali, yang baik adalah yang mendukung pria sementara yang jahat adalah yang punya strategi, punya ambisi seperti laki-laki. Apa yang diatakan Donovan ini saya lihat dalam Cinderella, Snow White dan Enchanted. Ibu Cinderella menguasai ayah Cinderella, dia juga digambarkan sebagai perempuan yang jahat sekali dengan memperlakukan Cinderella seperti pembantu, dan tidur di tempat yang tidak nyaman.
She could not bear the good qualities of this pretty girl, and the less because they made her own daughters appear the more odious. She employed her in the meanest work of the house. She scoured the dishes, tables, etc., and cleaned madam's chamber, and those of misses, her daughters. She slept in a sorry garret, on a wretched straw bed, while her sisters slept in fine rooms, with floors all in laid, on beds of the very newest fashion, and where they had looking glasses so large that they could see themselves at their full length from head to foot.
Narissa juga demikian, karena kehendak berkuasanya dia juga dibuat sangat jahat. Orang jahat ujung-ujungnya dibenarkan untuk dihukum dengan keji pula dan ditunjukkan dengan tegas bahwa orang jahat adalah the other, inferior. Narissa kalah, demikian juga ratu ibu Snow White di akhir cerita mati. Akan tetapi persaingan Giselle dan Nancy belaku berbeda, keduanya menjadi pemenang yang akan dijelaskan dalam uraian subbab berikutnya.
Gambaran perempuan yang biner dan memposisikan perempuan sebagai pelengkap atas kekuasaan laki-laki—pernikahan Cinderella dan Snow White dengan pangeran-pangeran penyelamatnya menunjukkan bahwa para pengeran itu lebih kuat dan berkuasa, perempuan adalah bagian dari simbol kekuasaannya—menurut Donovan adalah tidak manusiawi, tidak bermoral. Karena perempuan di situ tidak ditempatkan sebagai manusia, tapi sekedar pelengkap. Dalam Snow White bahkan sang ratu dihukum samapai mati oleh sang pangeran di atas sepatu besi panas. Artinya sang pangeran adalah orang yang sangat berkuasa sehingga bisa menghukum sang ratu. Dari sisi ini kesimpulan Donovan ada benarnya, penokohan perempuan masih kerab kali tidak bermoral dengan menjadikan perempuan dalam kotak-kotak dikotomis. Penampilan ibu tiri yang jahat misalnya yang juga muncul berulang-ulang dalam banyak cerita dipermasakahkan Donovan karena itu akan menciptkan stereotipe yang lekat dan nantinya menjadi wacana yang dibenarkan dalam common sense.
3. “Enchanted”;Representasi Perempuan dalam Dongeng Millenium
3.1 Kolaborasi dan Transformasi Narissa untuk Kekuasaan; domestik dan Publik
Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa Enchanted, sosok-sosok perempuan dari negeri-negeri dongeng ditransformasikan dalam karakter-karakter dengan gaya kekinian dimana hal ini menggugah stereotipe perempuan di dalamnya.
Narissa—ratu Andalasia yang memimpin sementara sampai dengan Edward menikah—tampil sebagai karakter antagonis. Dia menjadi biang kekacauan sepanjang plot. Sosoknya mentransmisi takoh-tokoh jahat dari Ibu tiri Cinderella dan ratu yang juga ibu tiri Snow White. Narissa adalah bagian dari dongeng[10] baru yang diciptakan Disney sebagai kelanjutan dari tokoh-tokoh jahat tersebut. Dia memiliki kekuatan magis yang digunakan untuk memenuhi atau memuaskan kehendaknya.
Persamaan ketiga tokoh perempuan sebagai ibu—yang jahat—tersebut sama-sama memiliki peran sebagai ibu yang punya kendali atas anak-anaknya sehingga dia lebih mudah untuk melakukan kejahatan. Sebagai ibu mereka digambarkan sebagai pemilik kekuasaan atas anak.
Dibandingkan dengan tokoh Ibu Cinderella, Narissa memang memiliki perbedaan yang cukup signifikan dari sisi kekuatan magis yang dimilikinya dan lingkup kekuasannya. Sedangkan Ratu dengan kaca ajaib dari dongeng Snow White, Narissa memiliki kesamaan yang lebih dekat. Mereka sama-sama punya kekuasaan lebih dari sekedar lingkup domestik. Ibu tiri Cinderella menguasai sang ayah, tapi tidak punya kekuatan publik yang akhirnya memposisikannya sebagai pihak yang kalah karena pangeran tak dapat ditaklukkannya. Kekuasaan pangeran jauh lebih besar dari kekuasaan ibu tiri Cinderella. Ambisi sang ibu terhadap kekuasaan pun kandas. Sementara Ibu Snow White sebagai isteri raja, dia punya kekuasaan lebih untuk dipatuhi orang lain selain anggota keluarganya, di luar lingkup domestik. Dia punya modal untuk membayar pemburu agar hasratnya terpenuhi. Sementara Narissa punya kekuasaan yang lebih besar lagi dari ratu ibu Snow White, tetapi ia tak mengunakan modal berupa materi untuk menjalankan misi kejahatannya pada Gisellle. Dia tampil lebih cerdas dari pada ibu-ibu pendahulunya. Narissa menggunakan strategi untuk itu, dia memanfaatkan Nathaniel yang memperlihatkan perasaan suka-nya pada Narissa, janda sang raja. Mulanya memang kekuasaan Narissa sebagai pemimpin negeri itu lah yang membuat Nathaniel mematuhi perintahnya untuk mengawasi Edward, tetapi kemudian ketika Narissa menangkap peluang untuk bisa memafaatkan perasaan Nathaniel tanpa harus rugi sedikit pun dia pun memanfaatkan itu. dia kirim Nathaniel ke New York untuk mengawasi Edward dan sekaligus mencelakakan Giselle agar dia tidak kembali ke Andalasia sehingga Narissa harus kehilangan tahtanya.
Pada kasus Narissa dan Nathaniel, ada pembalikan peran. Nathaniel sebagai laki-laki dibuat sebagai yang diperintah, yang patuh terhadap perempuan yaitu Narissa. Nathaniel lah yang larut dalam perasaan dan terlena oleh janji gombal Narissa untuk hidup bahagia selamanya. Ideologi yang bisa ditarik dari bagian ini adalah bahwa kekuasaanlah pengendali kebenaran[11], bukan masalah gender, persoalan gender pun hanyalah bentukan diskursif. Tidak perduli laki-laki atau perempuan sang penguasa, kekuasaan membuat penguasa mengatur kebenaran untuk kepentingan dirinya. Nathaniel merasa yang dia lakukan benar karena mematuhi perintah penguasanya. Dari segi penokohan, perempuan-perempuan yang berambisi terhadap kekuasaan, dan yang memiliki kekuasaan lebih terhadap laki-laki di sini menjadi tokoh jahat. Tokoh-tokoh ini tidak mampu bersaing dengan sehat, emosional yang menjadi titik lemahnya. Tokoh Narissa meneruskan stereotipe tersebut dalam dongeng baru ini tetapi perlu dicatat di sini sebagai catatan sentuhan pemikiran baru dari yang sudah-sudah adalah kecerdasan Narissa memanfaatkan peluang dan berstrategi menggunakan tubuh dan atribut dirinya untuk membuat orang lain melakukan sesuatu untuknya, bukan dengan materi.
3.2 Giselle dan Nancy: Nilai Tawar Transformatif dan Kolaboratif dalam Lingkup Domestik dan Publik dari Negeri Dongeng
Ciderella dihukum ibu dan saudara-saudara tirinya dengan pekerjaan rumah yang tiada hentinya. Snow White juga seorang gadis lugu yang mudah ditipu oleh ratu jahat yang juga ibunya. Penyamaran-penyamaran yang dilakukan oleh sang ratu untuk mencelakakan Snow White bisa dikatakan semuanya berhasil. Dua kali dia diselamatkan teman-teman kurcacinya. Ini menunjukkan bahwa seorang Snow White yang perempuan ternyata mudah ditipu. Stereotip yang muncul dari cerita ini adalah bahwa perempuan lemah dan bodoh, dia mudah ditipu. Penyelamat mereka adalah laki-laki yang dalam dongeng selalu dihadirkan sebagai putera raja berkuasa. Snow White diselamatkan pangeran, begitu juga Cinderella. Pernikahan pada akhir cerita menyelesaikan masalah yang dihadapi para gadis tersebut dan hidup bahagia selamanya.
Sementara dalam Enchanted ini, Giselle bersahabat dengan hewan-hewan di hutan tempat dia tinggal. Suaranya yang merdu juga mengundang binatang-binatang kumuh Manhattan datang. Seperti Cinderella dan Snow White yang ceria, dia pun punya kemampuan menghibur laki-laki—pangeran dalam Cinderella, kurcaci dalam Snow White dan Edward dan Robert dalam Enchanted. Giselle punya suara merdu, kemampuan memasak dan menata rumah Snow White, serta Cinderella dengan kemampuannya berdansa. Gisselle juga melakukan pekerjaan rumah tangga seperti Cinderella dan Snow White tanpa paksaan dari siapa pun, dia melakukan semua dengan kemauannya sendiri dan dengan senang hati. Di sisi lain ini juga bisa kita baca bahwa perempuan memang direpresentasikan dalam ranah domestik.
Suara merdu Giselle yang menjadi kemampuan lebihnya untuk menghibur tampaknya tidak hanya terperangkap dalam lingkup domestik. Dia membawanya ke ranah publik ketika dia bernyanyi di taman dan membuat orang-orang New York itu turut menyanyi, bergembira menikmati lagu tersebut. Tokoh perempuan dengan atribut negeri dongengnya tersebut mampu mempengaruhi publik New York dan larut dalam iramanya. Kekuatannya untuk mempengaruhi orang lain atau mengubah publik, bisa kita lihat pada kutipan berikut.
New Yorkers did not do cheery sing-alongs in public!
(Jones,2007:88)
...
But Giselle was already off, dancing and singing with a group of in-line skatters.
When the song finally came to an end, Robert looked up to find himself surrounded by a park full of new friends: kids, businesspeople, joggers, Polish dancers, steel drummers, cyclist—even a few guests from a Japanese wedding. All these people had joined in Giselles’s song. In spite of himself, Robert found the whole scene...enchanting.
(Jones,2007:89)
Gisele, tokoh negeri dongeng yang bertransformasi menjadi perempuan New York di era 2007 ini pun berpikir. Berpikir sendiri sebenarnya bukan hal yang lazim di negeri dongeng. (Giselle noticed his confused look and held out her hands apologetically. “I’m sorry. I was just thinking.” “Thinking?” Edward was surprised. Thingking was somthing he did very littl of in andalasia. (Jones,2007:114)). Dia belajar dari pengalaman-pengalaman yang didapatnya di New York bersama Robert, Morgan dan orang-orang yang telah dijumpainya. Keputusan-keputusannya kemudian melalui proses berpikir, bukan lagi diambil karena memang biasanya begitu. Dia belajar bertahan hidup di New York. Hal ini bisa dibandingkan dengan pengalaman Cinderella dan Snow White. Tokoh-tokoh tersebut juga mengalami perubahan drastis dalam keseharian hidupnya. Cinderella harus menjadi pelayan di rumahnya sendiri, Snow White juga menjadi penjaga rumah dan sekaligus pelayan di rumah kurcaci. Mereka semua belajar bertahan dalam situasi itu, hanya saja dalam dongeng-dongeng lama tersebut tidak direpresentasikan kemampuan mereka berpikir. Tokoh-tokoh itu sekedar menjalani dan melakukan semua dan ada keajaiban-keajaiban yang mengubah nasib mereka. Sementara Giselle belajar berpikir dan dia pun kemasukan ideologi rasionalitas yang dibawa tokoh Robert. Bukan berarti pula bahwa Giselle adalah makhluk pasif yang hanya menjadi ‘yang dipengaruhi’, tidak berarti pula mimpi kalah oleh rasionalitas yang menjadi jiwa modernisme. Robert yang realistis pun mengadopsi apa yang ditawarkan Giselle, mimpi negeri dongeng.
“You forgot about ‘happily ever after,” Giselle prompted.
“Forget about ‘happily everafter’!” Robert cried.
“It doesn’t exist!”
(Jones,2007:86.)
Kutipan tersebut menunjukkan peran rasionalitas Robert, namun ketika Giselle pingsan, dia ingat apa yang dikatakan Giselle sebelumnya kalau kekuatan paling hebat di dunia adalah “ciuman cinta sejati”. Dia yang berinisiatif agar Giselle dicium Edward yang dikiranya sebagai cinta sejati Giselle.
Looking down at Giselle’s beautiful face, Robert felt his heart break. Another chime sounded. This couldn’t be the end. It just could’t. Suddenly, he remembered Giselle’s words. “True love kiss,” he said slowly. “It’s the most powerful thing in the world...”
(Jones,2007:141)
Ketika ciuman Edward pada Giselle tidak berhasil, Edward dan Nancy pun melirik Robert. Mereka berharap Robert bisa menyelamatkan Giselle. Awalnya itu merisaukan dan tidak masuk akal bagi Robert tapi kemudian dia larut dalam perasaannya dan kemudian dia mencium Giselle juga dengan sepenuh hati.
“Please don’t leave me,” he whispered desperately. Then he pressed his lips against Giselle’s and kissed her softly. It was a kiss full of hope and love. He leaned back and waited anxiously.
(Jones,2007:143)
Pada saat Robert mencium Giselle dan berharap Giselle membuka matanya sebenarnya Robert telah masuk dalam wacana yang dibawa Giselle. Dia melepaskan rasionalitasnya, dia mengharapkan sesuatu yang berada di luar rasionalitas yang diyakininya selama ini. Secara perlahan tampaknya Giselle juga membawa sebagian diri Robert ke dunianya. Giselle juga mempengaruhi Robert seperti dalam kutipan berikut, “What about happily ever after? She thought desperately” (Jones,2007:146). Giselle yang tadinya meyakini kehidupan yang bahagia selamanya kemudian mempertanyakan kembali keyakinannya sebagaimana sebelumnya ditegaskan Robert bahwa kehidupan demikian tidak ada. Inilah sisi kolaboratif Cinderella dan Snow White yang mewakili mimpi di dalam Enchanted sebagai wakil rasionalitas. Ada pengaruh yang resiprokal antara wacana Giselle dan wacana Robert namun keduanya tidak ada yang dimenangkan, melainkan dikolaborasikan. Keduanya sama-sama direpresentasikan sejajar dan saling melengkapi, antara laki-laki-perempuan, rasionalitas dan mimpi semuanya ditampilkan bersama dan saling mempengaruhi namun wacana perempuan tetap dalam lingkup domestik.
Tokoh utama perempuan lainnya yang ada dalam Enchanted adalah Nancy. Dia tokoh yang berbeda dari perempuan yang ada di negeri dongeng sebelumnya. Kehadirannya dalam Enchanted ini mewakili rasionalitas dan kehidupan Megapolitan. Ukuran cantik di kota sebesar New York saat ini adalah seperti yang dimiliki Nancy, yaitu perempuan cerdas, rasional, mapan, mandiri, sukses dalam karirnya dan modis.
That was Nancy.”
“Uh-huh.” Morgan turned back to the window.
“She’s really busy at work,” Robert said. “She’s got a lot going on. Having her own design studio. All that fashion stuff. She’s like the women in this book. Someone to look up to. Someone you could look up to.”
(Jones,2007:31)
Hidup seperti yang dimiliki Nancy ditunjuk Robert sebagai rujukan ukuran sukses, cerdas dan cantik bagi putrinya. Artinya Nancy memiliki nilai lebih sehingga dianggap bisa jadi panutan, memberikan mimpi rasional bagi Morgan agar kelak menjadi perempuan yang mandiri dan percaya diri. Adapun buku yang diberikan pada Morgan sebagai hadiah ulang tahun malam itu adalah buku berjudul The Important Women of Our Time. Buku tersebut merupakan kumpulan kisah sukses perempuan dunia. Saya membaca kehadiran buku ini sebagai pendukung wacana perempuan yang dipresentasikan tokoh Nancy—perempuan sebagai sosok yang cerdas, sukses dan melakukan hal-hal besar di dunia yang berguna untuk kepentingan umat manusia seperti yang telah dilakukan Merrie Curie dan Rosa Parks, dua tokoh yang ada dalam buku tersebut.
Enchanted juga menunjukkan persaingan perempuan yang sehat yang ditunjukan oleh Nancy dan Giselle. Ketika Giselle sekarat dan tampaknya Robert lah yang bisa menyelamatkan Giselle, Nancy meminta Robert untuk menolong gadis itu. Padahal saat itu Robert ragu, takut jika ia mencium Giselle justru menyakiti Nancy—perempuan yang telah dipacarinya selama lima tahun. Akan tetapi Nancy cukup fair untuk memberikan kesempatan pada Robert untuk jujur dengan perasaannya pada Giselle meski itu berarti dia harus kehilangan Robert.
“It’s not possible!” he insisted. “it couldn’t be me!”
“Don’t you see?” Edward said gently.
Confusion flooded Robert’s heart. “I barely know her. I’ve only known her for a few days...”
Dong!
“Kiss her, Robert!” Nancy cried.
Robert turned to her, surprised that she would echo Edward’s thoughts.
You deserve true love,” she said urgently. “We all do.”
Dong! The elevent stroke...
(Jones,2007:143)
Sisi ‘dongeng’ yang dibawa Nancy sebagai warisan dari tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam dongeng-dongeng lama adalah bahwa kesuksesan Nancy masih ditempatkan di ranah ’biasanya perempuan’. Dia seorang perancang mode, dengan banyak pegawai di New York. Bidang yang digelutinya adalah bidang yang selama ini memang diidentikkan dengan pekerjaan perempuan. Pekerjaan Nancy tidak jauh dengan hal jahit-menjahit, hanya saja dalam kemasan modern. Sisi ini menunjukkan bahwa seberapa pun usaha perempuan berusaha keluar dari lingkup domestik ternyata secara diskursif sangat sulit ditembus. Demikian pula tokoh yang disebutkan Robert dalam The important Women of Our Time yaitu Marie Curie dan Rosa Parks[12] yang pada akhirnya juga memunculkan peran keluarganya dalam kesuksesan mereka.
Enchanted telah mengkolaborasikan dan juga mentransformasikan tokoh-tokoh perempuan dari negeri dongeng seperti yang ada dalam Cinderella dan Snow White ke dalam bentuk yang berbeda tetapi memiliki kesamaan. Perempuan dari negeri dogeng yang selalu identik dengan makhkuk lemah, dan hanya dituntut cantik—dalam ideologi: biar pun lemah kalau cantik nanti dicintai pangeran dan ditolong pangeran—tidak lagi menjadi fokus utama dalam Enchanted. Gisselle sang tokoh perempuan utama dalam Enchanted juga menunjukkan sisi lemah dirinya yaitu ketika untuk menyelamatkan jiwanya—walau pun Giselle tidak memaksakan karena keputusannya adalah pilihan, dia sendiri tidak yakin akan mendapatkan ciuman cinta sejati itu—dia butuh laki-laki. Laki-laki di sini juga tampil sebagai penyelamat sekali lagi. Akan tetapi Giselle tidak hanya diiselamatkan, dia juga menyelamatkan Robert, cinta sejatinya. Artinya meskipun tidak dipungkiri bahwa Giselle diselamatkan Robert dengan ’true love kiss’ sebelum jam 12 malam, dia juga kuat. Dia juga menjadi subjek dalam penyelamatan Robert. Edward, pangeran yang biasa jadi pahlawan di negeri dongeng justru menjadi penonton saat Gisselle melawan monster jelmaan Narissa.
Turning around, the Narissa beast’s eyes grew wide. Giselle had just struck her tail with the sword!
“Well?” the beast said, her eyes glittering. “Our brave little princess comes to rescue?” She turned to Robert with a sneer. I guess that makes you the damsel in distress.”
Turning from Robert, Narissa looked at Giselle. “ Keep up with me, dear! It’s time we take this tale to new heights.” The beast let out a cruel laugh, then with a mighty leap, she jumped to the top of the building. Giselle climed after them.
...
“I’m not going to let you take him away!” Giselle cried as she tried to pull herself up onto the thin spire.
(Jones,2007:147-8)
Bagian kepahlawanan Giselle ini membawa nuansa dekonstruktif terhadap stereotipe perempuan yang termuat di dalam dongeng-dongeng lama. Ini merupakan tawaran baru dari sebuah ‘dongeng’ milenium. Tidak selalu perempuan sebagai sosok yang lemah dan perlu pertolongan dari laki-laki tetapi Giselle, tokoh perempuan dalam cerita ini juga memiliki sisi yang berkarakter, dia juga bisa menjadi jagoan atau pahlawan bagi Robert yang hendak dicelakakan monster jelmaan Narissa.
4. Ideologi dan Masyarakat yang melahirkan Dongeng
Damono (2005: 56) mengungkapkan bahwa “setiap zaman memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan dan menafsirkan masalah yang sangat hakiki dalam hidup manusia”. Demikian pula dongeng Cinderella, Snow White, dan kisah Enchanted. Cerita-cerita itu berasal dari masyarakat dan masa yang berbeda.
Bentuk kesusastraan awal selalau menampilkan totalitas di dalamnya. George Lucaks[13] mengatakan bahwa epik merupakan relasi individu dengan lingkungannya, manusia menyatu dengan manusia di sekitarnya. Dongeng mencirikan totalitas relasi manusia dengan lingkungannya dan juga manusia dan manusia. Pada awal kelahirannya, seperti dongeng-dongeng yang lain, dongeng Cinderella dan Snow White berasal dari oral tradition, cerita rakyat. Sebagai cerita rakyat, masyarakat yang melahirkan dongeng-dongeng tersebut adalah masyarakat feodal dan masih dekat dengan kekuatan-kekuatan mistik dimana hubungan antara supernatural dan natural masih bersifat langsung. Dalam dongeng Cinderella dan Snow White, tokoh utama saat kesusahan selalu dibantu dewa-dewa dengan kekuatan lebih yang membantunya, artinya kekuatan di luar manusia ini—hubungan antara dunia supernatural dan natural—masih dekat. Dalam hal ini, dongeng merupakan prasarana memelihara proses produksi yang ideologis. Melalui dongeng masyarakat mereproduksi ideologi-ideologi yang ada di dalamnya dan menurunkannya secara lisan, demikian ideologi-ideologi itu berlanjut ke generasi berikutnya. Akan tetapi reproduksi ideologi dengan dongeng sebagai produk kesusastraan lisan tentu mengalami perubahan dalam penurunannya.
Versi paling populer yang menampilkan Cinderella dengan sepatu kaca adalah ditulis oleh penulis Perancis Charles Perrault pada tahun 1697 berdasarkan cerita rakyat yang ditulis oleh Giambattista Basile sebagai La Gatta Cennerentola pada 1634, namun film animasi dari Walt Disney Production yang disusul dengan produksi masal buku-buku berdasarkan film yang dibuatnya menjadi standar versi kontemporer[14]. Sedangkan versi Cinderella paling awal yang tercatat dalam sejarah sampai saat ini, adalah berawal dari China pada 860, pada Dinasti Tang yang dicatat oleh Ch'ing-Shih dalam The Miscellaneous Record of Yu Yang. Ini membuktikan bahwa cerita Cinderella ada sebelum itu. Apa yang dilakukan Ch’ing-Shih hanyalah merekam dongeng—oral tradition—tersebut dalam tulisan. Di era tersebut masyarakatnya adalah feodal, dan cerita-cerita yang berkembang masih dalam satu canopy. Masyarakat yang dilukiskan dalam cerita rakyat ini masih terbagi dalam dua kelas yaitu kelas atas dan kelas bawah, golongan ningrat dan jelata. Cinderella pun pada akhirnya dinaikkan status sosialnya dari yang men-jelata—karena diperlakukan sebagai pembantu di rumahnya oleh sang ibu tiri padahal ayahnya adalah bangsawan kecil—menjadi seorang permaisuri, di sinilah harapan dan ideologi yang diumbar dongeng ini. Mimpi itu meneguhkan posisi penguasa, bangsawan sebagai orang yang lebih terhormat dari orang jelata. Bahwa yang bangsawan adalah maha kuasa dan punya banyak hak khusus, seperti dengan mudah menghukum orang yang bersalah pada kita yang dengan hanya menjadi orang jelata tidak mudah dilakukan. Cinderella dan Snow White tanpa ‘nempel’ pada kekuasaan tidak bisa melawan orang-orang yang lebih berkuasa dari diriya. Ratu dalam Snow white dihukum oleh pangeran hingga mati. Ibu Cinderella dan saudara-saudara tirinya juga menyerah kalah, berlutut dihadapan ‘kekuasaan’ tersebut.
And now her two sisters found her to be that fine, beautiful lady whom they had seen at the ball. They threw themselves at her feet to beg pardon for all the ill treatment they had made her undergo. Cinderella took them up, and, as she embraced them, said that she forgave them with all her heart, and wanted them always to love her.
She was taken to the young prince, dressed as she was. He thought she was more charming than before, and, a few days after, married her. Cinderella, who was no less good than beautiful, gave her two sisters lodgings in the palace, and that very same day matched them with two great lords of the court.
Their wedding was set for the next day, and Snow-White's godless mother was invited as well.
…
Still, her jealousy drove her to go to the wedding and see the young queen. When she arrived she saw that it was Snow-White. Then they put a pair of iron shoes into the fire until they glowed, and she had to put them on and dance in them. Her feet were terribly burned, and she could not stop until she had danced herself to death.
Masyarakat feodal masih memposisikan perempuan sebagai “the angel in the house[15]”, pergerakannya sangat terbatas pada ranah domestik. Demikian pula yang terjadi pada Cinderella dan perempuan-perempuan yang ada dalam cerita. Cinderella menikah dengan pangeran, artinya perempuan terbebaskan dari deritanya dengan menumpang kuasa pada para calon penguasa (calon raja), dia akan menjadi ratu dan kekuasaan ratu adalah di bawah raja. Dari sekedar menjadi ibu rumah tangga biasa tentu saja kekuasaan ratu jauh lebih besar. Ratu bisa mempengaruhi seisi negerinya tapi tentu saja masih setelah kekuasaan raja. Untuk menjadi ratu pun membutuhkan kriteria ke-perempuan-an yang pelik, seperti yang disebutkan Woolf tersebut. Begitu pula Cinderella dan Snow White. Dia tidak serta merta jadi calon ratu. Perempuan harus cantik, baik hati—kriteria baik pun ditentukan secara diskursif, padahal dalam masyarakat patriarti laki-laki lah yang berkuasa menentukan standar, jadi ukuran tersebut ditentukan oleh laki-laki—mewah dan elegan.
Her godmother then touched her with her wand, and, at the same instant, her clothes turned into cloth of gold and silver, all beset with jewels. …
The king's son, who was told that a great princess, whom nobody knew, had arrived, ran out to receive her.
Then one evening, they discovered a strange young man admiring Snow White's
lovely face through the glass. After listening to the story, the Prince (for
he was a prince!) made a suggestion.
"If you allow me to take her to the Castle, I'll call in famous doctors to
waken her from this peculiar sleep. She's so lovely . . . I'd love to kiss
her. . . !" He did, and as though by magic, the Prince's kiss broke the spell.
To everyone's astonishment, Snow White opened her eyes. She had amazingly come
back to life! Now in love, the Prince asked Snow White to marry him, and the
dwarfs reluctantly had to say good bye to Snow White.
From that day on, Snow White lived happily in a great castle. But from time
to time, she was drawn back to visit the little cottage down in the forest.
(versi Disney ftp://ftp.funet.fi/pub/doc/literary/etext/fairy-tale/)
One day a young prince came to the dwarfs' house and wanted shelter for the night. When he came into their parlor and saw Snow-White lying there in a glass coffin, illuminated so beautifully by seven little candles, he could not get enough of her beauty. He read the golden inscription and saw that she was the daughter of a king. He asked the dwarfs to sell him the coffin with the dead Snow-White, but they would not do this for any amount of gold. Then he asked them to give her to him, for he could not live without being able to see her, and he would keep her, and honor her as his most cherished thing on earth. Then the dwarfs took pity on him and gave him the coffin.
(Versi Grimms http://www.pitt.edu/~dash/type0709.html#snowwhite)
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa perempuan-perempuan tersebut disambut dan diapresiasi oleh pangeran karena kecantikan dan kemewahannya. Ini merupakan bukti bahwa pergerakan status pada masyarakat feodal tidaklah mudah, mimpi dalam dongeng itu juga sebenarnya juga mengandung borderlines yang tegas. Bagian-bagian cerita seperti yang dikutip di atas bisa juga dibaca sebagai berikut; Jika kamu tidak cantik dan bukan keturunan bangsawan, jangan berharap menjadi ratu, jangan harap bisa menjadi penguasa.
Perrault sebagai penulis yang telah mempopulerkan salah satu versi Cinderella tentu saja dalam penyalinannya memasukkan unsur-unsur yang ada di zaman dia menyalin dongeng tersebut. Maka dari itu, Cinderella yang saya bahas dalam tulisan ini menggunakan tahun 1697 sebagai acuan masyarakat penciptanya tahun penyalinan Perrault. Yang saya anggap masyarakat kelahiran Cinderella di sini merupakan paduan antara zaman feodal dengan masyrakat pada zaman Perrault menyalinnya. Jadi ada perpaduan antara masyarakat feodal dan masyarakat classic. Perrault hidup di masa kejayaan khatolik sehingga dalam Cinderella versinya juga terdapat ideologi khatolik, misalnya kehadiran tokoh fairy godmother tetapi unsur-unsur feodal yang formulaik dalam cerita juga masih ada. Ada pun formula Cinderella dalam teori Propp mengenai 31 fungsi cerita rakyat adalah memenuhi fungsi-fungsi berikut; absention, villainy, lack, Receipt of a magical agent, liquidation, unrecognized arrival, recognition, and wedding (http:// social. chass. ncsu. edu/ wyrick/ DEBCLASS/ propp.htm).
Demikian pula masyarakat yang melahirkan Snow White. Kisah ini disalin oleh Grimms bersaudara pada tahun 1857. Dalam versi cerita rakyat, Snow White diciptakan saat masih masyarakatnya juga feodal. Namun tahun 1800an ketika Grimss menyalinnya telah terjadi peristiwa sejarah dunia yang sangat signifikan yaitu revolusi industri. Tidak heran bila Snow White versi Grimms mulai berbau kapitalis awal. Pada saat penyalinannya dia juga memasukkan ideologi yang berkembang di dunianya saat itu. Dia menggambarkan adanya pergerakan ke nilai kerja yang lebih signifikan. Dalam kutipan sebelumnya sang pangeran bahkan ingin membeli peti yang berisi Snow White tersebut agar ia bisa memilikinya, jelas ini berorientasi pada nilai tukar berupa modal/kapital. Namun posisi perempuan di sini tetep saja domestik, di masa Grimms perempuan masih belum mengalami pergerakan yang berarti maka posisi sebagai ‘orang rumahan’ masih bertahan dalam versinya. Formula dari Snow White sendiri adalah lebih kompleks dari Cinderella. Dari 31 fungsi yang diteorikan Propp, Snow White memiliki 16 fungsi yang semuanya masih dipertahankan Grimms. 16 fungsi tersebut adalah absention, delivery, trickery, complicity, villainy, lack, departure, receipt of a magical agent, struggle, victory, liquid, pursuit, unrecognized arrival, recognition, punishment dan wedding. Sementara versi Disney yang diproduksi pada tahun 1930an menghadirkan yang berbeda pula, punishment terhadap ibu Snow White tidak lagi dihadirkan .
"If you allow me to take her to the Castle, I'll call in famous doctors to
waken her from this peculiar sleep. She's so lovely . . . I'd love to kiss
her. . . !" He did, and as though by magic, the Prince's kiss broke the spell.
(versi Disney ftp://ftp.funet.fi/pub/doc/literary/etext/fairy-tale/)
Versi Disney yang berdasarkan tulisan Grimms ini memberikan ending cerita yang berbeda dari versi Grimm. Ideologi modernisme mulai menguat, pangeran tidak hendak membeli peti tersebut tetapi mencarikan dokter untuk mengobati gadis mati dakam peti. Perkembangan keilmuan dimunculkan dalam versi ini tetapi dibenturkan lagi dengan sisi irasional sebuah dongeng, yaitu gadis dalam peti sebenarnya diyakini mati tetapi masih akan dicarikan dokter. Ini sebuah gambaran pendewaan pengetahuan, bahwa dokter sebagai wakil ‘yang menguasai’ ilmu pengetahuan yang dapat dinalar mampu menyembuhkan penyakit apa pun, termasuk ‘kematian’ Snow White. Selain pendewaan pengetahuan, jiwa kapitalis juga dibawakan sang pangeran, dia meminta peti tersebut dengan alasan dia yang akan mencarikan dokter terbaik bagi Snow White. Artinya dia sebagai seorang pangeran, calon penguasa memiliki ‘penukar’ yang lebih dari yang dimiliki para kurcaci. Dengan kekuasaan dan 'uang’ tersebut dia bisa lebih leluasa mencarikan penawar sakit Snow White. Liberalisme kapital mulai mewarnai pemikiran Snow White versi Disney yang notabene lahir tahun 1930 dalam keguncangan ekonomi dunia setelah perang dunia pertama.
Masyarakat di zaman Cinderella, dan Snow White, menafsirkan masalah domestifikasi perempuan sebagai hal yang wajar, perempuan adalah lemah dan perlu perlindungan dari pria. Tokoh-tokoh dalam dongeng ini merupakan penegasan mengenai konvensi masyarakat tentang menjadi perempuan yang harus patuh, terikat pada kegiatan domestik, dan pemimpi dimana percaya pada kekuatan-kekuatan magis yang membantunya saat kesusahan serta kehadiran pangeran sebagai survivor. Kriteria tersebut merupakan perpanjagan apa yang telah diwacanakan masyarakat penciptanya dimana perempuan dianggap tidak rasional dan tidak punya kemampuan untuk mengusahakan sesuatu yang rasional.
Sementara di dalam Enchanted justru menunjukkan kolaborasi dan transformasi keduanya; perempuan juga bisa sangat mandiri jika tahu bagaimana menempatkan kemampuannya. Bahwa laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sama, keduanya bisa saling membantu dalam berbagi masalah. Di saat Robert bermasalah dengan Nancy, Giselle membantu selesaikan masalah mereka dan itu berhasil untuk hubungan Robert dan Nancy. Giselle juga menjadi pahlawan Robert menggantikan peran pangeran di negeri dongeng yang selalu menjadi penyelamat. Jadi perempuan tidak lagi diposisikan lemah.
Masyarakat Enchanted yang kapitalis (masa perkembangan kapitalis lanjut) dan berorientasi pada Nilai tukar menimbulkan alienasi manusia dengan lingkungannya. Karya sastra yang tumbuh pada lingkungan seperti ini biasanya lebih banyak bicara dengan kesendirian dan individualitas. Ini juga disinggung oleh Lukacs dalam Approximation to life in the Novel and the Play mengenai cirri-ciri novel sebagai bentuk kesusastraan yang lahir dari masyarakat kelas menengah. Salah satu ciri novel adalah bicara mengenai individualitas dan keterasingan. Kelas menegah yang lahir dari dampak pemikiran modernisme Descartes pada munculnya revolusi industri ini tidak mempercayai kharisma raja dan meragukan dewa-dewa. Mereka mengutamakan rasionalitas, pragmatis dan faktual. Maka yang muncul dalam seni mereka pun demikian. Enchanted juga menunjukkan sisi-sisi keterasingan manusia di antara hasil peradabannya.
“I just love them so much!” she gushed, looking over at the flower arrangement. The doves were nestled among the flowers, cooing.
“Really?” Robert was delighted.
“Yeah, usually you send those e-mail cards with the digital flower. These are exquisite. Where do you find live doves in New York City?” Nancy cried.
“And these?” she added. Holding up a pair of golden tickets. “we’re going to a ball?”
(Jones,2007:90)
Nancy ternyata lebih menyukai sesuatu yang konvensional di balik keglamoran modernitas dunianya. Dia lebih menyukai merpati yang membawakanya surat dan bunga dari pada email dan bunga-bunga digital dimana semua itu adalah hasil peradaban manusia yang paling mutakhir. Hanya saja ternyata itu mengalienansi dirinya, hubungan digital hanyalah maya, semu dan membuat Nancy merasa hambar, dia terasing di antara produk cyber tersebut.
Enchanted lahir dari masyarakat yang kompetitif, mengutamakan rasionalitas, dan struktur sosial yang sangat terbuka. Kapitalisme memungkinkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk berpindah status sosialnya, kompetisi ketat pun harus dilalui untuk itu. Oleh karena itu, Robert mendidik anak perempuannya untuk mempercayai hal-hal yang rasional agar bisa menghadapi realitas hidup yang kompetitif dan jauh berbeda dengan kisah-kisah dongeng. Dia tidak percaya dengan mimpi-mimpi yang menjadi kenyataan seperti yang diumbar dalam dongeng. Baginya, dongeng adalah irasional dan hanya akan melemahkan daya juang anak, dongeng hanya menawarkan mimpi yang muluk-muluk. Dongeng mengkondisikan anak bermimpi sehingga mempunyai daya juang lemah dalam hidup. Giselle yang meyakini adanya mimpi yang menjadi nyata (dream come true), oleh Robert dibedakan sebagai ‘yang lain’, bukan perempuan ideal yang realistis menurut standardnya.
...
Robert nodded toward Morgan. “it’s her I worry about. She’s really shy, she doesn’t has many friends, and I just, I want her to be strong, you know? To be able to face life for what it is. That’s why i try not to encourage all this fairy-tale stuff, setting her up to believe all this unrealistic ‘dream come true’ nonsense.”
“ But dreams come true!” Giselle insisted.
“Maybe someting wonderful could happen.”
Robert looked at Giselle’s face—beautiful and bright with hope. “ I forgot who I was talking to.”
(Jones,2007:98)
Seperti yang ditesiskan Weber dalam Spirit of Capitalism mengenai disenchanted world dimana rasionalitas dan intelektualitas mengasingkan manusia dari pesona dunia[16] tercermin dalam representasi tokoh Robert. Dunia tidak lagi mempesona seperti yang dikagumi Giselle yang bersal dari negeri dongeng, dari masyarakat feodal. Robert sebagai produk masyarakat kapitalis merasionalkan semua hal yang terjadi disekitarnya sehingga pesona dunia lenyap tergantikan intelektualitas dan rasionalitas. Cerita Enchanted mengusung kosep pesona dunia atau enchanted world bersama disenchanted world dan mengkonfrontasikannya namun tidak membiarkan salah satu menang, tetapi berkolaborasi. Dengan demikian, pesona dunia yang di hadirkan kembali dalam Enchanted bukan lah pesona dunia yang lama, tetapi sebentuk re-enchanted world (kembalinya pesona dunia) dalam bentuk baru; kolaborasi enchanted dan disenchanted world.
Pernikahan yang akhirnya terjadi antara Giselle dan Robert disadari bukanlah pilihan hidup yang “happily ever after”. Artinya mereka sadar keputusan itu bukanlah penyelesaian untuk semua masalah seperti yang digambarkan dalam dongeng Cinderella dan Snow White, tetapi lebih merupakan sebuah pilihan yang berkomitmen.
Giselle stared at the ballroom. What about happily ever after? She thought desperately. But it was clear that she hadn’t reached that part yet. She had no choice—she had to do something, or her chance at happiness would be gone forever. She hurried down the stairs, nearly tripping over Edward’s sword.
(Jones,2007:146)
Karena semua orang pada akhir cerita memilih hidup sesuai dengan yang diinginkan maka dalam novel tersebut disebutkan mereka pun ‘hidup bahagia selamanya’. Tanda kutip pada frase “happily ever after” adalah untuk menunjukkan bahwa ‘happily ever after’ di sini tidak berarti selamanya seperti yang di dalam dongeng lama tetapi dalam konteks karena mereka memilih kehidupan yang sesuai dengan hasrat mereka.
And as for Gisele and Robert? Their life was just as enchanting. They were married and stayed in New York City. Giselle took over Nancy’s old studio, renaming it Andalasia Fashions, where she made princess dresses for children. Morgan, meanwhile, was a flower girl in the wedding. And even better? She now got to shopping with her new mother whenever she wanted.
So, in the end, everyone got their true heart’s desire. And, of course, they all lived “happily ever after.”
(Jones,2007:155)
Pemikiran masyarakat penghasil dongeng-dongeng tersebut, bila dikaitkan dengan perkembangnan ekonomi dunia yang berpengaruh pada pemikiran mereka seperti telah dipaparkan tersebut di atas, dapat dilihat pada bagan[17] berikut ini;
|
|
|
5. Akhiran
Representasi perempuan dalam karya sastra dari waktu ke waktu menunjukkan benang merah akan stereotip perempuan yang selalu identik dengan lingkup domestik, lemah, emosional, bersaing tidak sehat karena tidak punya kapabilitas yang cukup untuk bersaing sehat, licik, dan harus cantik. Walaupun ada transformasi dari representasi tersebut, stereotip yang sudah menempel sebelumnya tetap muncul sebagai pijakan membangun counter wacana. Meskipun berfungsi sebagai pijakan bagi counter wacana, representasi transformatif perempuan menjadikan stereotip lama masih hidup dan akan terus muncul sehingga stereotip tersebut terus “merambat pada seutas benang merah”. Bagaimanapun juga usaha seperti yang telah dilakukan Enchanted tetap perlu dilakukan terus-menerus, dipertegas, dan diperbanyak agar efektif merubah stereotip lama.
Perempuan bisa juga menjadi jagoan, menjadi rasional dengan berpikir dan belajar. Dengan berusaha, menggunakan pengetahuannya dan memanfaatkan talentanya perempuan bisa sukses, bisa mandiri seperti yang telah ditampilkan Enchanted. Representasi perempuan yang ditawarkan Enchanted ini membangkitkan kesadaran anak-anak—sebagai target pembaca novel yang dikategorikan sebagai novel remaja ini—agar lebih realistis dan tidak menganggap dirinya lemah karena hidup di jaman ini tidak hanya bisa bermodalkan mimpi, tetapi juga harus rasional untuk survive. Hidup mengandalkan rasio saja juga akan menafikan satu sisi manusiawi dan justru membuat kita teralienansi dengan produk-produk rasional kita. Enchanted hadir sebagai paduan dunia supernatural dan natural dengan bidikan masyarakat saat ini sebagai konsumen cerita yang bisa menggugah kesadaran mereka bahwa mereka hidup di dunia natural. Tanpa menafikan yang supernatural, Enchanted mengajak untuk realistis dan mampu mengenali peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar, kemudian menyikapinya dengan proporsi antara mimpi dan rasio yang sesuai, dengan kapasitas sebagai manusia tanpa membedakan gender, meskipun dalam beberapa hal partikular perempuan tetap direpresentasikan dalam ranah domestik.
Daftar Pustaka
Culler, Jonathan.1981.The Pursuit of Signs; Semiotics, Literature, Deconstruction.London:Routledge and Keagan Paul
Damono, Sapardi Djoko.2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pedidikan Nasional.
Danandjaja, James.1997. Folklor Indonesia; Ilmu Gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti
Lukacs, George.Approximation to life in the Novel and the Play dari The Historical Novel dalam Elizabeth dan Tom Burns. 1973.Sociology of Literature and Drama. Midlesex: Penguin Books Ltd.
Finnegar, Ruth. 1992. Oral Traditions and the Verbal Arts. London & New York : Routhledge.
Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Brighton : Harvester.
H.T, Faruk.
2001.Beyond Imajination: Sastra Mutakhir dan Ideologi.Yogjakarta: Gama Media.
2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar Offset
Jones, Jasmine. 2007. Enchanted (Based on the new movie from Walt Disney pictures).New York : Disney Press.
Jost, Francoist. 1974. Introduction to Comparative Literature. Indianapolis and New York : Pegasus: A Division of The Bobbs-Merril Company, Inc., halaman 33-40
Malpas, Simon. 2005.The Posmodern.London and New York :Routledge Taylor & Francais Group
Pujiati, Hat. 2009. Novel Enchanted dalam Kajian Posmodern Brian McHale. Tesis prasyarat kelulusan S-2 program Studi Sastra Universitas Gadjah Mada.
Roland Barthes dalam The Theory of The Text dalam Young, Robert. Untying Text; A Post-Structuralist Reader.1981. Boston : Routledge & Kegan Paul Ltd.
McHale, Brian.1989.Postmodernist Fiction.London and New York : Routhledge.
Selden, Raman. 1985. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Liverpool : The Harvester Press.
Website yang diakses:
diunduh pada 16 Juli 2008 pukul 13.44 WIB
diunduh pada 16 Juli 2008 pukul 13.45 WIB
- Diunduh dari ftp://ftp.funet.fi/pub/doc/literary/etext/fairy-tale/ pada tanggal 7 Juli 2008 pukul 15.23 WIB (Versi Disney)
- http://www.pitt.edu/~dash/type0709.html#snowwhite (Versi Grimms )
diunduh tanggal 10 Juli 2008 pukul 18.02 WIB
- Diunduh dari http://www.pitt.edu/~dash/perrault06.html pada tanggal 13 Juli 2008, pukul 14.30 WIB
- http://www.rileks.com/movie/index.php?act=detail&artid=31102006115755
29 Juni 2008, pukul 13.03 WIB
diunduh pada tanggal 29 juni 2008 pukul 13.32 WIB
diunduh pada tanggal 13 Juli 2008 pukul 16.27 WIB
diunduh tanggal 18 July 2008 pukul 16.58 WIB
diunduh pada tanggal 10 Juli 2008 pukul 18.05 WIB
diunduh pada tanggal 14 Juli 2008 pukul 17.39 WIB
diunduh tanggal 2 November 2007 pukul 14:15 wib.
- (http://www-personal.umich.edu/~mmanty/teaching/example4.html diunduh pada 24 juli 2008 pukul 13.12 WIB
[1] Staf pengajar Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Jember
[2] Enchanted selain memiliki kesamaan bagian cerita dengan Cinderella dan Snow White juga mempunyai interteks dengan Rapunzel, Sleeping Beauty dan The Blair Rose(Pujiati: 2009; 4). Hanya saja dalam tulisan di ruang terbatas ini difokuskan pada dua dongeng pertama dengan pertimbangan porsi kehadirannya dalam cerita.
[3] Dongeng menurut Danandjaja, James.1997. Folklor Indonesia; Ilmu Gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.halm.83 adalah cerita yang bersifat kolektif karena dimiliki secara sosial oleh kelompok masyarakat tertentu, dongeng ini berupa kesusastraan lisan pada awalnya dan unsur-unsur ceritanya memiliki kesamaan dengan cerita-ceirta rakyat di daerah lain. Pada perkembangan selanjutnya dongeng menjadi tertulis setelah budaya tulis berkembang dan menjadi secondary oral forms, kelisanan kedua. Sementara Enchanted dalam tulisan ini adalah yang berupa reproduksi film Disney dalam bentuk buku (dari teks diubah jadi kelisanan kedua-film-kemudian diubah jadi teks lagi dalam bentuk novel). Istilah dongeng baru di sini saya pakai karena cerita ini memadukan kisah-kisah dongeng dan formulanya (seperti kehadiran ibu tiri yang jahat serta hidup bahagia selamanya) dengan realitas era milenium di megapolitan sekelas New York yang juga merupakan produk dari kelisanan kedua—film yang direkam kembali ke dalam bentuk tertulis; novel.
[4] Menurut Jeremy Philips dalam Understanding Children’s Literature, kategori remaja dalam sastra anak adalah mereka yang berusia 12 tahun hingga 18 tahun. Cerita konsumsi anak-anak ini sudah cukup kompleks pada plot, sub-plot, dan tokoh-tokoh yang lebih banyak.
[5] Kesadaran Morgan mengalami keterpecahan dan ini mencirikan salah satu ciri tokoh novel posmodernis, di dalam McHale, Brian.1989.Postmodernist Fiction.London and New York : Routhledge. halaman 10, ciri fiksi posmodenis adalah berbeda dari fiksi-fiksi modernis yang epistemologis, posmodernis lebih menyiratkan pertanyaan-pertanyaan ontologism di dalamya, yang oleh Dick Higgins disebut pertanyaan post-cognitive. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah dunia yang manakah ini, apa yang harus dikerjakan di dalamnya, apa yang harus aku kerjakan di dalam dunia itu,ada dunia macam apa saja dan bagaimana mereka berbeda-beda? Kesadaran akan diri juga dipertanyakan seperti diriku yang manakah ini? Diriku yang mana yang harus melakukan sesuatu di dunia itu.
[6] Hasil penelitian Pujiati dalam Novel Enchanted dalam Kajian Posmodernisme Brian McHale menunjukkan Enchanted sebagai karya posmodern yang lebih mengutamakan dominan ontologis daripada dominan epistemologisnya. Pengembalian aspek re-enchantment di dalamnya merupakan pengukuhan peta keberadaannya dalam paradigma posmodern (Pujiati: 2009; 147).
[7] Versi Cinderella yang dipakai sebagai acuan dalam tulisan ini adalah diunduh dari http://www.pitt.edu/~dash/perrault06.html pada tanggal 13 Juli 2008 pukul 14.30 WIB. Versi ini bersumber dari Andrew Lang, The Blue Fairy Book (London: Longmans, Green, and Co., ca. 1889), halaman 64-71. Lang sendiri mendasarkan versinya pada: Charles Perrault, "Cendrillon, ou la petite pantoufle de verre," Histoires ou contes du temps passé, avec des moralités: Contes de ma mère l'Oye (Paris, 1697).
[8] Ada dua versi yang dipakai dalam cerita ini ftp://ftp.funet.fi/pub/doc/literary/etext/fairy-tale/ diunduh pada 7 July 2008 15.23 WIB dan versi terjemahan bahasa Inggris dari edisi definitive karya the Grimm's Kinder- und Hausmärchen (Berlin 1857), dongeng nomor 53, yang dialihkan ke bahasa Inggris oleh D. L. Ashliman diunduh dari http://www.pitt.edu/~dash/type0709.html#snowwhite tanggal 29 Juni 2008 pukul 13.50 WIB. Versi pertama adalah versi Disney (yang difilmkan pada tahun 1930 dan dibukukan) dimana akhir cerita Snow White diselamatkan dengan true love kiss. Sedangkan versi Grimms Snow White bangun dari mati surinya ketika tanpa sengaja punggungnya ditepuk oleh pembantu istana karena jengkel harus selalu menggotong mayat itu ke depan pangeran yang sedang makan sehingga potongan apel beracunnya keluar dari tenggorokannya. Akhir Enchanted, mantra Narissa digagalkan dengan ciuman cinta sejati seperti versi Disney, tetapi tiga kali usaha Narissa mencoba mencelakakan Giselle lebih mirip dengan versi Grimms maka itu kedua versi ini dipakai sebagai acuan cerita Snow White yang dibandingkan didalam tulisan ini.
[9] Dalam Newton, K.M.1990.Twentieth-Century Literary Theory.London: Macmillan Education LTD
[10] apa yang dihasilkan Disney tersebut memuat unsur-unsur dongeng. Sementara Enchanted yang berupa novel lebih tepat disebut novel yang mendongeng atau dongeng yang menovel karena dia memiliki kedua unsur tersebut di dalamnya (Pujiati: 2009; 145-6).
[11] Seperti yang dikatakan Foucault dalam The Power/Knowledge halaman 131 dimana ia menyampaikan bahwa “truth isn’t the reward of free spirit, the child of protected solitude, nor privilege of those who have succeeded liberating themselves. Truth is a thing of this world: it is produced only by virtue of multiple forms of constraint. And it induces regular effects of power.” Kebenaran diwacanakan dan pada titik tertentu ia akan mendapatkan konsensus dalam masyarakat dan mencapai regime of truth, tetapi itu akan berubah sesuai dengan “the power concensus of the institutions and official organs of science” (parafrase Raman Selden dalam A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory, halm.98).
[12] Rosa Parks seorang aktivis kemanusiaan Amerika yang hidup pada tahun 1913-2005, dia memperjuangkan hak perempuan sipil di Amerika dan Marie Curie (1867-1934) profesor Perancis perempuan pertama di bidang eksakta. Dia adalah penemu radioaktif.
[13] Tulisan Lukacs berjudul Approximation to life in the Novel and the Play dalam Sociology of Literature and Drama oleh Elizabeth dan Tom Burns menjelaskan bahwa pada masyarakat feoldal karya sastra masih dibedakan menjadi tiga yaitu epik, lirik dan drama. Dongeng yang berupa prosa digolongkan ke dalam epik, maka itu apa yang dikemukakan Lukacs mengenai Epik tersebut bisa diterapkan pada dongeng (1973; 280-295.).
[15] Istilah yang dipakai Virginia Woolf dalam Professions for Women. Istilah tersebut sebenarnya ditujukan pada penulis perempuan di abad 19 yang masih terkungkung oleh ideologi ‘womanhood’ dimana perempuan ideal masih dituntut simpatik, idak egois, dan baik hati, dan itu juga dituntut ada dalam tiap tulisan perempuan. (Raman Selden, 1985; halm.137)
[16] disenchanted world adalah istilah yang dikenalkan Weber untuk merujuk pada kekuatan rasionalitas dan intelektualitas dalam menjelaskan fenomena dunia sehingga pesona dunia (enchanted wold) pun memudar(seperti misalnya gelegar halilintar, cahaya rembulan tidak lagi tampak mengagumkan). Dampak dari disenchanted world adalah lunturnya spiritualitas, kebingungan atau lunturnya nilai-nilai. (http://www-personal.umich.edu/~mmanty/teaching/example4.html diunduh pada 24 juli 2008 pukul 13.12 WIB)
[17] Bagan PERKEMBANGAN TEORI EKONOMI ini diperoleh dari keterangan Dr. F. Wanono dalam pelatihan History of Thought di LSM Satunama-Sleman Jogja pada tanggal 11-16 Februari 2008. Bagan ini digunakan dalam tulisan ini untuk menunjukkan posisi kelahiran dongeng dalam perkembangan ekonomi yang saya anggap berpengaruh dalam pola pikir masyarakat.