Cerita Cinta Tentang Dia; Transformasi Ideologis dari Cerpen ke Film Kajian Ekranisasi
Posted by Rerupa
*tulisan ini telah dipublikasikan dalam Bulak/Jurnal Sosial dan Budaya Universitas Gadjah Mada, Volume 4, Mei 2009 (ISSN: 1858-4950)
Latarbelakang
Pelayarputihan Cerpen Tentang Dia
Tentang Dia!!! adalah sebuah cerpen Melly Goeslaw yang diangkat ke layar lebar menjadi film berjudul Tentang Dia, bentuk film ini menggunakan judul tanpa tiga tanda seru seperti cerpennya. Transformasi dari satu bentuk karya ke bentuk lain bisa dipastikan memang mengalami perubahan karena karya tersebut harus menyesuaikan dengan media yang digunakan, dan masing-masing media memiliki konvensi tersendiri. Antara karya sastra yang tertulis, menggunakan media bahasa, dengan film yang menggunakan prinsip optikal berurusan dengan masalah pengelihatan dan pendengaran sekaligus—audio-visual—memiliki perlakuan berbeda terhadap karya (Blustone,1956:14-20). Tentang Dia!!! Sebagai cerpen dengan media bahasa ini cukup membutuhkan 18 halaman dalam kemasan kumpulan cerpen berjudul Arrrrrgh..., tetapi sebagai film yang menerjemahkan 18 halaman cerpen tersebut dalam durasi 1,5 jam tentu membutuhkan pengembangan cerita dan logika cerita yang berbeda dari cerpen. Penambahan dan pengurangan di beberapa sisi pun terjadi dalam film yang berdampak pada perbedaan esensi cerita. Pembaca membangun imajinasi dari rangkaian-rangkaian kalimat yang ada dalam teks sementara film menerjemahkannya dengan gambar, audio visual, jadi penikmat telah disaji dengan persepsi tim pekerja film akan apa yang tertulis.
untuk selanjutnya silahkan klik di sini
Tulisan ini akan bicara tentang perbedaan wacana yang direpresentasikan dalam film sebagai transformasi dari cerpen. Lebih lanjut, tulisan ini akan menguak ideologi yang melandasi perbedaan tersebut.
Kerangka Teori
Pelayarputihan Cerpen dalam Perspektif Bandingan
Ekranisasi atau oleh Pamusuk Eneste diterjemahkan sebagai pelayarputihan novel (sebagai sebuah genre karya sastra) ke dalam film (1991:60). Ekranisasi sendiri merupakan sempalan studi bandingan (comparative study) yang relatif baru, asal katanya sendiri berasal dari kata ecran, bahasa Perancis, yang berarti layar. Ekranisasi bila menggunakan definisi Eneste tersebut maka akan terbatas pada pelayarputihan, atau perubahan karya sastra pada film saja. Sementara itu transformasi karya berkembang tidak hanya dari karya sastra ke film tapi dari film ke karya sastra juga mulai marak baik di Indonesia atau pun di Hollywood sebagai sarang perkembangan film dunia[1]. Dalam lingkup yang lebih luas lagi transformasi karya yang dinamis ini (dari teks ke film dan dari film ke teks) bernaung dalam adaptasi[2], di dalamnya novelisasi film juga menjadi lahan kajiannya.
Transformasi dari dua media berbeda (antara bahasa dan audio-visual) membawa perubahan-perubahan menggiring konsep ekranisasi sebagai sebuah proses perubahan atau oleh Bluestone disebut sebagai mutational process (1991:5). Dalam Pengantar Penelitian Sastra Bandingan, berkaitan dengan transformasi karya, Damono membicarakan peralihan wahana karya sastra ke dalam bentuk-bentuk lain yang melampaui perbedaan media atau pun genre seiring perkembangan teknologi modern (2005:96-110). Dengan kata lain, pernyataan Damono tersebut mengindikasikan bahwa perkembangan teknologi juga memperkaya wilayah kajian sastra. Perkembangan teknologi menyebabkan manusia makin leluasa mengekspresikan pikirannya termasuk dalam berkreasi dalam berbagai media. Gerakan dinamis perubahan kaya dari satu media ke media lain, termasuk di dalamnya karya sastra ke dalam film, musik, atau lukisan dan kembali ke sastra, adalah fenomena yang harus ditangkap dengan cerdas oleh pemikir sastra untuk pengembangan teori sastra.
Dari perspektif bandingan, Ekranisasi membawa konsekwensi cara kerja yaitu dengan membandingkan antara karya sastra dengan bentuk film. Dalam tulisan ini, cerpen akan dibandingkan dengan film. Perbandingan cerpen dan film ini bisa dibedah melalui unsur-unsur pembangun ceritanya; tokoh-penokohan, peristiwa-pristiwa dalam cerita, alur, latar dan sudut pandang. Dalam lingkup yang lebih spesifik, wacana dalam tulisan ini akan dibaca dari perbedaan sequence antara cerpen dan film. Sequence yang berbeda dan penambahan beberapa bagian pada film membuat perbedaan wacana yang terepresentasi dalam dua bentuk karya tersebut berbeda. Urut-urutan peristiwa membentuk alur, rangkaian alur (disebut sequence) kemudian mebentuk cerita. Cerita merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah narasi, baik yang dihadirkan (diegest) dalam teks—atau digambarkan di dalam film—maupun yang tidak dihadirkan (nondiegest) secara eksplisit tetapi diisi atau pun disimpulkan oleh pembaca/penikmat, yang terhubung dengan sebab-akibat yang terjadi dalam ruang dan waktu (Bordwell dan Kristin Thompson, 1993:65-6). Adapun posisi kajian ekranisasi di dalam lingkup sastra bandingan dalam diagram adalah sebagai berikut:
Diagram 1.
Keterangan:
Garis ( ) cabang-cabanng lingkup kajian sastra bandingan dan menunjukkan perbandingan sastra dengan bentuk kesenian lain secara langsung
Garis ( ) menunjukkan bandingan sastra yang mengalami alih wahana ke bentuk seni lain
Garis ( ) menunjukkan teknik transformasi sastra
Garis ( ) menunjukkan transformasi karya sastra yang mengalami alih wahana ke bentuk film dan ditransformasi kembali ke bentuk karya sastra
Garis ( ) menunjukkan ilmu yang melingkupi transformasi karya sastra yang ulang-alik: adaptasi
Garis ( ) menunjukkan ilmu yang melingkupi transformas karya sastra menju film: ekranisasi
Oval ( ) menunjukkan lingkup kajian ilmu tersendiri (untuk membedakan dari ekranisasi) yang melingkupi segala bentuk alih wahana dan terjemahan yang berbeda dari aslinya sekaligus. Adaptasi di dalamnya memuat proses resepsi dan ada intertekstual, cakupan kajiannya pun luas dan tak dapat menghindari metode bandingan.
Oval ( ) menunjukkan alur kajian ekranisasi
Oval ( ) menunjukkan teknik transformasi yang tidak termasuk dalam alur ekranisasi
Oval ( ) menunjukkan lingkup ilmu-ilmu yang merupakan ungkapan kehidupan
VS mewakili kata Versus yang berarti lawan.
Menurut Damono (2004:2), Sastra bandingan adalah “membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan kehidupan”. Dalam pengertian tersebut selain karya sastra suatu negara dibandingkan dengan karya sastra negara lain, maka sastra bandingan juga dapat dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial, filsafat, kepercayaan dan sejarah. Seni sebagai salah satu sains sosial kerab menjadi ladang kajian sastra bandingan, bisa sastra dibandingkan langsung dengan bentuk karya seni lain seperti patung, pahat, lukis, musik, film dan lain-lain. Namun bisa juga dengan karya seni yang mengalami transformasi sebelumnya menuju wahana yang berbeda atau melalui terjemahan. Alih wahana khusus untuk karya sastra ke film memiliki ruang pembahasan sendiri yaitu ekranisasi. Untuk film ke sastra diwadahi oleh teori adaptasi yang punya lingkup lebih luas dari ekranisasi, khusus dari film ke novel dikenal dengan novelisasi. Penjelasan diagram tersebut menunjukkan posisi ekranisasi dalam lingkup studi bandingan.
Wacana dalam Sekilas Teori
Foucault dalam bukunya The Archaeology of Knowledge yang merupakan revisi dari pernyatan-pernyatan tulisannya sebelumnya tidak juga memberikan definisi pada wacana, akan tetapi wacana yang dimaksudkan dapat dipahami sebagai struktur spesifik pernyataan-pernyataan, terma-terma, kategori-kategori dan keyakinan-keyakinan yang dikonstruksi secara historis, sosial dan institusional (Foucault,2002:34-42). Wacana-wacana atau diskursus-diskursus yang muncul dan tampak berbeda akan membentuk objek-objeknya masing-masing dan mengolahnya menuju titik-titik transformasi tertentu. Aturan kemunculan berbagai objek yang simultan membuatnya bisa dinamai, dideskripsikan, dianalisis ditanggapi atau dinilai berdasarkan relasi tersebut (2002: 45-6). Keanekaargaman aturan memungkinkan munculnya objek-objek pada satu periode tertentu membentuk formasi diskursif, yang pada gilirannya transformasi yang dilakukan menjadi pengetahuan diskursif yang dipandang sebagai sebuah hipotesis atau sebuah kepastian (2002: 50), pada saat itulah praktik diskursif dilakukan oleh subjek wacana.
Adanya praktik diskursif menempatkan wacana sebagai sebuah kebenaran[3] (Regime of truth) yang dilakukan oleh agen-agen wacana sebagai subjek (person) dalam ruang-ruang (institusi) penyemaian wacana dengan membentuk formasi. Dengan kata lain Regime of truth[4] tercipta ketika wacana-wacana dalam formasi dan praktik diskursifnya telah mendapatkan pengakuan masyarakat setelah melalui negosiasi panjang untuk membentuk pengetahuan. Proses normalisasi wacana untuk mencapai kebenaran dilakukan dengan menginklusi dan mengekslusi subjek wacana. Akan tetapi eksklusi pada ‘the other’ ini selanjutnya akan menjadi otonomi tersendiri dan menjadi lawan pada yang terinklusi saat ini. Mereka menjadi musuh yang meng-counter wacana yang telah mengeksklusinya dan nantinya kondisi ‘the other’ bisa berbalik, wacana tandingan yang diciptakannya menjadikan pelaku wacana yang telah mengekslusinya sebagai the other, sementara mereka terinklusi dalam wacana tandingan tersebut. Dengan demikian Wacana cinta seperti pokok bahasan dalam tulisan ini berkaitan dengan pernyataan-pernyataan seperti cinta sejati, cinta sesama jenis itu tidak normal, perempuan mencintai laki-laki itu normal, perempuan mencintai perempuan itu lesbi, cinta yang tidak normal adalah negatif, perempuan muda pantas mencintai laki-laki yang lebih dewasa, tapi perempuan menjadi aneh bila mencintai laki-laki yang lebih muda yang membentuk formasi diskursif, diterima bersama sebagai kebenaran dan dipraktekkan oleh subjek-subjek wacana.
Wacana membawa ideologi yang oleh Althusser ideologi dianggap sebagai “sebuah gambaran tentang hubungan imajiner antara individu-individu dengan kondisi-kondisi eksistensi mereka yang riil.” (Althusser,2007:191) Gambaran tersebut adalah hubungan mereka terhadap kondisi-kondisi mereka, sifat ideologi yang imajiner merupakan dasar dari distorsi imajiner yang bisa dilihat dalam ideologi (Althusser 2007:194). Gagasan-gagasan kolektif yang merupakan kesadaran palsu (imajiner) ini mendapatkan kekuatannya dengan menjadi bingkai materi. Ketika ideologi memateri, kefektivitasannya menguat. Sifat interpelasinya pada subyek adalah cara ideologi kemudian membentuk individu sebagai objek ideologi yang kemudian melanggengkannya dengan usaha-usaha mematerikan ideologi tersebut, membicarakannya terus-menerus dalam wacana dan menghidupkannya, tidak lagi sekedar imajiner. Perwujudannya pada materi ini menjadi hegemonik yang berpuncak pada common sense, yaitu ketika ideologi itu tidak lagi dipertanyakan tapi diterima apa adanya (taken for granted) dan dianggap sebagai sesuatu yang normal, mendapatkan konsensus di masyarakat. Dengan demikian dikatakan oleh Belsey dalam Critical Practice bahwa ideologi bukanlah hal yang terpisah dari wacana tetapi ia menyisip dalam wacana sebagai cara berpikir, berbicara dan mengalami (Belsey, 1990: 5).
Wacana yang mengandung ideologi direpresentasi dalam bentuk-bentuk karya oleh subjek-subjek wacana ideologis sebagai aparatus diskursif dalam rangka menjaring subjek-subjek baru, memperluas dan melanggengkan wacana ideologis tersebut dan membentuk pengetahuan baru. Karya sastra dan film dalam tulisan ini menggunakan referensi-referensi wacana ideologis konsensual[5] yang telah ada di masyarakat sebelumnya sehingga mudah diterima, tapi ini bersifat ambivalen, ia juga bisa menjadi strategi ideologis untuk memberikan tawaran-tawaran ideologi baru. Penggerogotan wacana mapan dengan sesuatu yang akrab dengan masyarakat membuat tawaran pengetahuan baru dalam karya mudah dicerna dan diterima, di situlah kekuatan penawaran karya.
Pendekatan psikologis digunakan dalam tulisan ini untuk membuka persoalan wacana dalam cerpen dan film. Konsep-konsep psikologi juga dipakai untuk membatasi persoalan yang diekplor dalam tulisan ini.
Pembahasan
Konsep Cinta: Menurut Delora Joan
Representasi mengenai cinta di dalam cerpen dan novel memiliki perbedaan yang membuahkan perbedaan pokok permasalahan. Cinta menurut Delora dalam, Understanding Human Sexuality, ada tiga jenis, yaitu familial love, agape dan eros (1977:328). Familial love adalah cinta yang terjadi antara anggota keluarga, cinta sejenis ini tidak berbau libido. Di dalam familial love terdapat juga parental love yaitu cinta orang tua pada anak-anaknya yang bersifat platonic; artinya cinta yang tumbuh dalam ikatan hubungan manusia tanpa melibatkan seks atau dengan kata lain sejenis cinta persaudaraan yang tumbuh seperti pada kakak atau adik. Sementara Agape adalah cinta yang berhubungan dengan kemanusiaan, orang bahkan rela berkorban demi cinta ini atas nama kemanusiaan. Eros, berdasar konsep Freud, diartikan sebagai cinta yang melibatkan ketertarikan seksual antar dua orang yang dalam lingkungan sosial kita mengacu pada orang yang berbeda jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, dan tidak memiliki hubungan darah. Transformasi dari cerpen menjadi film membawa perubahan pada wacana cinta tersebut seiring penambahan dan pengurangan yang dilakukan di dalam film. Melalui unsur-unsur yang berubah di dalam transformasi tersebut, tulisan ini berusaha menyoroti alasan perubahan yang terjadi terkait dengan wacana cinta.
Cinta Kekeluargaan
Di dalam cerpen tidak ada cerita mengenai cinta kekeluargaan yang muncul signifikan. Satu-satunya hubungan kekeluargaan yang muncul dalam cerpen adalah cerita mengenai Rudi di masa lalu. Rudi atau Dara Nurtanti merasa gagal dicintai keluarganya. Satu-satunya yang membuat dia bertahan di rumahnya, dalam keluarganya adalah adiknya yang bernama Gadis. Namun Gadis akhirnya tewas ditangan orang tuanya sehingga dia merasa tidak punya alasan untuk tetap tinggal. Dia pun menyesali kelemahannya yang tidak mampu melinduni Gadis dari orang tuanya. Kekecewaaannya yang mendalam membuatnya berpikir bahwa kalau dia kuat seperti laki-laki maka ia akan mampu menyelamatkan adiknya. Cinta platonik Rudi pada Gadis, almarhum adiknya dalam cerpen bisa dilihat pada kutipan berikut:
“Dara Nurtanti baru berusia 15 tahun ketika bertemu dengan pak Dibyo, keadaan Dara ketika itu sangat kacau. Kematian adiknya yang bernama sama dengan Gadis telah membuat Dara lari dari rumah dan akhirnya hidup bersama pak Dibyo... Dara atau pun Rudi telah merasa bersalah karena tidak bisa berhasil menjaga dan menyelamatkan Gadis kecilnya dari kekerasan orang tua yang disebutnya sebagi ibu dan ayah... kalau saja Dara adalah seorang laki-laki, rasanya Dara pasti bis dan sanggup menjaga dan membela Gadis, Dara pasti bisa meyelamatkan Gadis dari kekerasan orangtuanya. Pikiran itulah yang telah membuat Dara merubah dirinya menjadi seorang Rudi.”
(Goeslaw,2005:24-5)
Pada bagian akhir, dalam surat Rudi pada Tuhan di dalam buku hariannya yang diberikan pada Gadis setelah kematiannya, dia menulis sebagai berikut:
Aku tidak ingin kau mengirimkan Gadis yang lain, aku ingin Gadisku yang dulu, Tuhan.
(Goeslaw,2005:25)
Kutipan tersebut menceritakan dengan gamblang perkara cinta platonik Dara atau Rudi pada adik kecilnya yang bernama Gadis. Demikian pula cintanya pada Gadis dewasa, dia tidak menganggap Gadis lebih dari sekedar pengganti adiknya, cinta Rudi itu bersifat platonik. Dia menganggap Gadis seperti adiknya sendiri. Lebih detil untuk pembahasan mengenai cinta Rudi terhadap Gadis dewasa, dan sebaliknya, akan dibahas pada sub bab Eros Homoseksual.
Sementara di dalam film, bagian kecintaan Rudi pada adik kecilnya muncul dalam fragmen-fragmen flashback ingatan masa lalu dalam gambar hitam putih. Medianya yang bersifat audio-visual mengubah kata-kata di dalam cerpen dengan gambar. Masa lalu itu memunculkan gadis kecil dibawah cengkraman seorang laki-laki yang menjadi ayah Rudi dan Gadis. Rudi digambarkan mengintip dari celah pintu yang tak tertutup rapat bagaimana adiknya tewas yang bisa dilihat dalam fragmen film dalam gambar-gambar berikut:
Gambar 1. Representasi cinta Rudi pada adiknya secara berurutan ganbar-gambar tersebut adalah sketsa Gadis kecil di dinding kamarnya Rudi, Rudi menatap foto lama adiknya, flashback ingatan Rudi pada peristiwa KDRT yang menewaskan adiknya, wajah Rudi kecil saat menyaksikan adiknya tewas, ingatan tersebut mengganggu perasaan Rudi hingga dia terbatuk.
Rentetan gambar tersebut menyoroti kehidupan Rudi saat ini dan masa lalu. Untuk waktu saat ini, ditampilkan sketsa lukisan gadis kecil di kamar Rudi yang sempit dengan kasur di lantai sebagai indikasi kesederhanaan. Foto lusuh yang dipegang Rudi adalah gerbang ke masa lalunya yang dimunculkan dalam warna hitam-putih untuk menunjukkan waktu berbeda dari saat ini. Dengan munculnya flashback gadis kecil dibawah cengkraman orang laki-laki dewasa, sampai gadis kecil itu terkapar berlumuran darah, gadis kecil lain di celah pintu, hingga batuk Rudi setelah kelebatan gambar hitam-putih tersebut menunjukkan kegelisahan Rudi. Rentetan gambar tersebut adalah dirinya dan masa lalunya. Sketsa gadis kecil dan foto ditangannya yang membawanya pada kenangan masa lalu tersebut adalah gambar saudara perempuannya yang tewas. Batuk dan ekspresi wajah Rudi yang sendu pada sequen tersebut menunjukkan kesedihan. Sementara latar tempat hitam-putih tersebut tidak menunjukkan kemewahan, barang-barang sederhana, dan ruangan yang tidak cukup luas adalah tanda status sosial keluarga Rudi yang berasal dari keluarga menengah bawah.
Ada pun dialog yang mengiringi kemarahan bapak saat memarahi Gadis kecil adalah sebagi berikut:
Hari gini masih main terus. Mau jadi apa kamu? Dengarkan nasihat orang tua. Kamu bikin susah di rumah ini. Mau jadi apa kamu? tidak ada orang yang bisa mengurusi kamu di rumah ini. huh!
Lebih lugas lagi kehilangan yang dirasakan Rudi adalah tercermin dalam lagu yang dia janjikan untuk pengamen di warung pak Dibyo di mana dia bekerja sebagai pelayan. Kertas itu tampaknya terjatuh di jok mobil Gadis saat dia mengantar Rudi ke tempat kerjanya sesaat setelah peristiwa penabrakan Rudi oleh Gadis. Teks itu adalah sebagai berikut:
Ada yang hilang ketika kau hilang
Hatiku, jiwaku
Ada yang pergi ketika kau pergi
Senyumku, tawaku
Hidupku ikut hilang bersamamu
Cintaku ikut hilang bersamamu
Sementara aku masih di sini
Mencoba tetap berdiri tanpamu
Teks tersebut terbaca oleh Gadis yang menjadi medan pengikat antara Gadis dan Rudi yang berasal dari latarbelakang berbeda sehingga ada pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Di dalam film, Gadis muncul sebagai gadis dari keluarga berada lengkap dengan kehadiran kedua orangtuanya dan seorang adik laki-laki yang bernama Adi. Tokoh-tokoh ini tidak ada di dalam cerpen, namun kehadirannya di dalam film menghadirkan perubahan cerita yang cukup signifikan. Ungkapan cinta Gadis dengan keluarganya tidak dinampakkan dalam satu ruang dan waktu, tetapi terpisah. Peran tokoh ibu dan ayah muncul secara terpisah dalam scene berbeda. Meskipun tidak banyak kemunculan dan peran mereka dalam film namun kemunculan mereka berdua lebih pada pelengkap keluarga menengah ke atas ini. Latar rumah Gadis dan mobil yang menjadi alat transportasi pribadi Gadis ke mana-mana adalah berasal dari orangtuanya yang bukan buruh kasar. Penampilan ibu dan ayah Gadis di dalam film menunjukkan kelas sosial mereka, sang ibu suka merawat tanaman dengan pakaian dan asesoris mahal (jam tangan, cincin—ibu rumah tangga dari keluarga kelas bawah tidak akan sempat berdandan serapi dan setrendi ibu Gadis di usianya yang mulai melewati 50 tahunan). Gambaran megenai latar belakang kelas sosial keluarga Gadis ini bisa dilihat dari cuplikann gambar berikut:
gambar 2. Ibu Gadis saat menemukan pena berlampu di sofanya, ibu Gadis di teras rumah mewahnya saat merawat tanamannya, ayah Gadis yang menggunakan pajangan kodok sebagai pengganti palunya yang jatuh saat memaku.
Penggunaan pajangan kodok sebagai pengganti palu oleh ayah Gadis juga merupakan petunjuk level sosial keluarga tersebut. Pajangan tersebut bisa pecah atau rusak jika dipakai sebagai pengganti palu, tetapi hal itu tetap dilakukan, sehinga yang terbaca dari representasi tersebut adalah daya beli keluarga tersebut. Jika barang tersebut rusak, dengan mudahnya dia bisa menggantinya, karena masih ada produksi dan dia punya modal untuk konsumsi. Sementara itu, hubungan Gadis dengan Adi lebih banyak muncul dan cukup menunjukkan hubungan kakak-beradik yag bisa dilihat dalam rentetan gambar berikut:
Gambar 3. Adi masuk ke kamar Gadis dan memberikan secarik kertas yang ditemukannya di jok depan mobil, Gadis menelpon Adi yang meminjam mobilnya hingga larut malam belum juga menjemput Gadis di warung Pak Dibyo, rentetan shot ketika Adi muncul dengan mobil kakaknya di tengah perjalanan Gadis ke rumah diantar Rudi dengan jalan kaki.
Rentetan gambar tersebut menunjukkan harmoni hubungan Gadis dan Adi. Walau pun tidak ada pernyataan kasih sejauh Rudi pada adiknya, adegan-adegan yang ditampilkan mengindikasikan kesalingpedulian satu sama lain sebagai wujud cinta platonik.
Perbedaan yang direpresentasikan dalam film dan cerpen sehubungan dengan wacana cinta keluarga tersebut adalah untuk mengkontraskan antara keluarga Rudi kecil dan keluarga Gadis. Ideologi yang terbaca di dalam film tersebut kemudian adalah keluarga yang berlatar pendidikan rendah dan hidup dalam kekurangan adalah penyebab terhadap kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Berbeda dengan mereka yang dari keluarga kelas sosial menengah ke atas. Dengan uang, pendidikan bisa diakses dengan mudah dan kemungkinan KDRT yang disebabkan tekanan kebutuhan hidup terlampaui. Semantara melalui cerpen, ideologi ini tidak tersampaikan karena gambaran mengenai latar keluarga Rudi tidak ada gambaran yang lebih detail.
Cinta Agape
Cinta agape yang muncul di dalam cerpen tampak samar-samar dari hubungan Rudi dengan Pak Dibyo. Pak Dibyo dan Rudi sebenarnya tidak memiliki hubungan darah, tetapi hubungan mereka cukup dekat walau pun status Rudi di sana adalah sebagai pengamen yang berkeliaran di warung pak Dibyo.
“Hampir setiap malam mereka bertemu di warung seafood pak Dibyo, tempat di mana setiap malam ternyata Rudi suka mencari penghasilan dengan mengamen di sekitar warung.”
(Goeslaw,2005:16)
“Lewat Pak Dibyo, Gadis mengetahui bahwa hujan malam itu telah merenggut nyawa Rudi”
(Goeslaw,2005:23)
“Lewat Pak Dibyo pula Gadis mendapat sebuah peninggalan terakhir Rudi. Sebuah buku yang telah membukan sehgalanya mengenai Rudi, siapa Rudi sebenarnya.”
(Goeslaw,2005:23)
“Dara Nurtanti baru berusia 15 tahun ketika bertemu dengan pak Dibyo, keadaan Dara ketika itu sangat kacau. Kematian adiknya yang bernama sama dengan Gadis telah membuat Dara lari dari rumah dan akhirnya hidup bersama pak Dibyo...”
(Goeslaw,2005:24)
Peryantaan-pernyataan tersebut menggambarkan kedekatan Rudi dengan Pak Dibyo yang dikatakan sejak berusia 15 tahun hingga usia awal dua puluhan (bila dilihat dari usia Gadis yang anak kuliahan, maka usia Rudi tak jauh dari usia Gadis yang dianggapnya adik (Goeslaw,2005:11) ) dia hidup bersama Pak Dibyo. Ketika Rudi meninggal, Gadis mengetahui berita mengenai Rudi, dan buku harian yang ada di tangan Pak Dibyo untuk Gadis adalah bukti kedekatan Rudi dan Pak Dibyo, Rudi mempercayakan buku hariannya pada pak Dibyo.
Agape antara Rudi dan Pak Dibyo diolah lebih matang lagi dalam film dengan menunjukkan scene-scene toleransi dan keperdulian Pak Dibyo pada Rudi yang sekedar pelayan di warungnya. Dia memberi cuti bagi Rudi untuk bermain-main dengan Gadis, teman Rudi yang dilihatnya mulai akrab.
Dalam film, sifat Rudi yang penyayang dan perduli terhadap orang lain juga ditunjukkan pada Randu yang kerab datang ke warung itu dengan wajah sedih. Rudi selalu mengatakan hal-hal yang menggugah bagi Randu, meski mereka tidak pernah mengenal satu sama lain. Scene kehadiran Randu di warung Pak dibyo bisa dilihat dalam rentetan gambar berikut:
Gambar 4. Dua kali kedatangan Randu dengan muka sedih di warung pak Dibyo dan percakapannya dengan Rudi.
Di dalam cerpen Randu tidak pernah disebutkan bertemu dengan Rudi namun di film ini ketulusan Rudi pada sesama manusia yang sedang bersedih ditunjukkan dengan celetukan-celetukan yang menguatkan Randu seperti “kapan-kapan main aja lagi, mas. Mungkin yang mas cari ada di menu yang lain...” atau “tenang aja lagi, mas. Masih banyak harapan.” Dan ketika di malam terakhir sebelum kematian Rudi, di warung Pak Dibyo Rudi menyapa Randu yang sedang berputus asa karena cintanya tak berbalas pada Gadis. Dia duduk berlama-lama di warung hingga waktunya tutup tetapi dia belum pergi juga. Ketika dia mau pergi Rudi bertanya padanya:
“udah ketemu, Mas yang dicari?”
“Belum. Besok kali.”
“Mas, kalau ternyata kita cuma punya hari ini dan besok belum tentu ada bagaimana?”
Keesokan harinya, ketika Randu sedang berada di kantin, dia melihat berita kematian Rudi yang disebabkan kecelakaan. Dia tertabrak mobil kijang saat berada di tepi jalan setelah memungut fotonya yang jatuh ke jalanan dalam perjalanan pulang dari tempat Pak Dibyo. Tampak ekspresi Randu yang terkejut melihat berita di televisi tersebut. Tanpa ada dialog, dia datang ke warung Pak Dibyo yang sedang tutup berkabung. Pernyataan-pernyataan tersebut bisa dilihat pada fragemen film dalam gambar-gambar berikut:
Gambar 5. Berita kematian Rudi di televisi mengejutkan Randu yang sedang makan di kantin dan kematian Rudi menyisakan kehilangan bagi Randu walau pun dia tak kenal baik dengan Rudi. Kematian Rudi juga membuat pak Dibyo kehilangan yang tampak dari ekspresi wajahnya.
Wacana yang terangkat di dalam cerpen pada bagian ini adalah kekuatan karakter Rudi yang ditempa kerasnya hidup. Semenjak kepergiannya dari rumah dan menjadi pengamen di sekitar warung Pak Dibyo menjadikannya sosok yang kasar. Kelembutan hatinya tertutup oleh penampilannya yang kelaki-lakian. Wacana yang tersebar di masyarakat adalah bahwa laki-laki kuat dan mampu melindungi yang lemah, wacana ini yang menggerakkan seorang Dara Nurtanti menjadi Rudi.
Sebagai sosok yang kelaki-lakian, Rudi di dalam cerpen menunjukkan sisi-sisi lemahnya dimana kematiannya disebabkan dia terjatuh dari lantai 42 bangunan belum selesai yang menjadi tempat dia merenung. Buku harian yang ditinggalkan untuk Gadis melalui Pak Dibyo mengindikasika kematiannya yang mengandung unsur sengaja, mengingat ada surat yang pada satu bagian berbunyi; “Hidup memang tidak pernah tenag Dis...kecuali bila kita menutup mata untuk selamanya” (Goeslaw,2005:26) ditujukan pada Gadis di dalam buku harian tersebut. Hal ini justru merapuhkan karakter seorang Rudi. Peralihannya ke dalam film mengoreksi kelemahan ini. Rudi ditunjukkan memiliki penyakit kronis terbukti dari noda darah di tangannya saat batuk, namun kematiannya tidak disebabkan penyakit, tapi karena tertabrak mobil. Dengan demikian karakter Rudi sebagai sosok kelaki-lakian tetap kuat. Kuat juga bukan berarti liar, sisi-sisi lembutnya sebagai manusia tanpa menggarisbawahi sebagai laiki-laki atau perempuan, Rudi yang bertubuh perempuan dengan nama dan gaya kelaki-lakian dalam film mengusung ideologi yang terkandung dalam sikap Rudi berkenaan dalam konteks agape adalah sekuat apa pun, menjadi laki-laki atau pun perempuan, manusia butuh sesama. Penambahan dan pengurangan yang terjadi pada sequen-sequen ini adalah dalam rangka fungsi menguatkan karakter Rudi sebagai perempuan yang kelaki-lakian tapi juga berhati tulus. Representasi Rudi dalam film makin melogiskan kekuatan karakter Rudi yang mudah disayangi orang lain karena keperdulian dan ketulusannya, sementara di dalam cerpen yang singkat hal ini tidak detail.
Cinta Eros
Eros dalam pengertian Delora yang mengartikan cinta yang melibatkan ketertarikan seksual antar dua orang yang dalam lingkungan sosial kita mengacu pada orang yang berbeda jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, dan tidak memiliki hubungan darah. Tetapi lebih lanjut Delora mengatakan bahwa konsep tersebut adalah bentukan sosial. Ketidaksesuaian dengan konvensi masyarakat dianggap penyimpangan. Artinya Eros sebenarnya tidak hanya terjadi antara laki-laki dan perempuan tetapi juga antara laki-laki dan laki-laki atau pun perempuan dengan perempuan, bahkan antara mereka yang masih bertalian darah. “Penyimpangan” perilaku ini sebenarnya ada hanya saja tidak banyak yang siap mengakui. Sesuai dengan apa yang dimaksud Foucault dalam cara kerja wacana yang di dalalamnya ada inklusi dan eksklusi wacana. Mereka yang menjadi subjek wacana lemah akan terkekslusi namun pada giliranya, pada waktu yang partikular keadaan bisa berbalik. Dalam cerita Tentang Dia, baik cerpen atau pun film memiliki dua kutub cinta Eros.
Eros heteroseksual
Di dalam cerpen pada bagian cinta heteroseksual ini terjadi pada Gadis-Randu-Wirda. Randu yang dilukiskan seorang playboy di dalam cerpen dihadirkan sebagai pejuang tangguh mengejar cinta Gadis. Gaya mendekati Gadis oleh Randu terkesan kolokan.
“Gadisku...selamat pagi sayang, pasti kamu tadi fitness dulu ya? Keliatan tuh, Muka kamu seger banget, udah sarapan belum sayang?”
“Gadisssss...kok kamu cuek gitu sih sayang...?”
“Udah, Gue udah sarapan.”
Gadis hanya menjawab dengan singkat dan dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
(Goeslaw,2005;15)
“Selama pemberian ini dari Gadisku, biarpun kaos ini ukuran bayi, tetep aja bakalan gue pake. Kita kan harus menghargai pemberian orang lain, apa lagi kalau orang itu sangat spesial untuk kita.”
(Goeslaw,2005:20)
kutipan-kutipan tersebut menunjukkan kenorakan Randu dan keacuhan Gadis terhadap Randu. Sementara itu Wirda, teman sekampus mereka yang terkenal dengan kecantikannya di kampus tersebut menginginkan sang playboy. Hanya saja Randu telah terpaut pada Gadis.
“Hai Ta. Randu kok belum kelihatan ya?”
Dua perempuan tersebut ternyata Wirda dan Geita, dua anak kampus yang cukup terkenal dengan kecantikannya. Wirda sebenarnya sangat menginginkan Randu menjadi pacarnyam tapi Randu tidak pernah mau. Wirda tidak pernah mau menyaerah dan terus berusaha merebut perhatian Randu. Yang ada dipikiran Wirda setiap hari hanyalah Randu. Sementara yang ada dipikiran Randu setiap hari adalah Gadis.”
(Goeslaw,2005;15)
Cinta segitiga antara Gadis-Randu-Wirda di awal menjadi bagian intrik tersendiri dimana kegigihan Wirda merebut perhatian Randu menimbulkan pertengkaran dengan Gadis. Transformasi cinta segitiga ini dibumbui lebih panas dengan intrik yang lebih banyak dalam film. Wirda muncul di beberapa scene bersama teman-temannya yang cantik. Mereka meledek penampilan Gadis, mengintimidasi Gadis dengan mendorong-dorongnya di jalan, ribut di kampus hingga membuat Gadis menamparnya di depan Randu. Bagian ini dalam film mendorong cerita pada ketidakpercayaan diri Gadis yang berujung pada perasaan berlebih pada sosok Rudi. Intrik antara Wirda dan Gadis yang berakhir dengan pemukulan Wirda oleh Rudi bisa dilihat dalam rentetan fragmen film dalam gambar-gambar berikut :
Gambar 6. Intrik yang terjadi antara Gadis-Wirda, Wirda bersama teman-temannya memeperhatikan perilaku Gadis yang aneh di kantin dan menertawakannya, Gadis menampar Wirda di depan Randu ketika diledek Wirda. Di jalan, Wirda dan teman-temannya menghina Gadis, hingga pada aksi kekerasan fisik Wirda pada Gadis dan kehadiran Rudi yang memukul Wirda.
Gambar 7. Keterpurukan Randu ketika tak digubris Gadis yang membawanya ke warung Pak Dibyo dengan segala gundahnya.
Randu yang menyadari perubahan pada diri Gadis, mencari tahu alasan perubahan Gadis hingga menemukan jawaban kedekatannya dengan seorang Rudi yang tidak dikenalnya. Di dalam cerpen, Randu tidak dijelaskan bagaimana ia mencari tahu akan Rudi yang dicemburuinya itu. Sementara di dalam film, bagian ini dikembangkan dengan datang ke rumah Gadis, menelponya, hingga suatu malam dia membuka laptop Gadis yang ditingalkan Adi di meja hadapan Randu. Dia membuka file Tuhan.doc yang merupakan surat-surat Gadis pada Tuhan. Randu pun tahu kehadiran seseorang bernama Rudi dalam hari-hari Gadis. Gambar-gambar berikut menunjukkan usaha Randu untuk mengetahui perubahan Gadis dengan mendatangi rumah Gadis.
Gambar 8. Usaha Randu mencari tahu perubahan Gadis dengan datang ke Rumah Gadis, pada sore harinya dia bertemu dengan ibu Gadis, dan malam harinya dia bertemu Adi, adik Gadis. Di sana dia mendapatkan informasi dari file dalam laptop Gadis yang sedang di pinjam Adi.
Ada perbedaan signifikan pada sosok Randu antara cerpen dan film. Sisi playboy Randu yang norak bisa ditemukan di dalam cerpen, hingga pada usaha terakhirnya untuk mendengar jawaban iya dari Gadis dia berdiri di tengah jalan dan menyebabkan kemacetan. Di dalam film, Randu yang diperankan Fauzi Baadilla ini justru tampil sebaliknya. Ekspresi dan sikapnya terhadap cintanya menunjukkan nilai-nilai ketulusan. Ketika Gadis tak dapat dihubungi, dia berusaha datang kerumahnya beberapa kali dan tampak hancur ketika diacuhkan Gadis hingga dia terdampar di warung Pak Dibyo sampai waktu tutup dengan muka murung dan hampa. Randu dalam film lebih tulus sehingga ketika diakhir cerita dia berjanji akan selalu ada untuk Gadis, pernyataan tersebut tampak lebih relevan dengan sikap yang ditampilkan sepanjang film. Sementara di dalam cerpen Randu dengan lamarannya tampil lebih norak dan playboy.
Gambar 9. Peryantaan cinta tulus Randu pada Gadis yang berbalas, dan Gadis di atap gedung membuang pesawat-pesawat kertas yang biasa dia buat setelah menuliskan keluhan hatinya pada Tuhan saat patah hati karena dikhianati kekasihnya, dengan membuang pesawat-pesawat kertas ini menyimbolkan Gadis yang telah melepaskan masa lalunya dan memulai yang baru bersama Randu. Gadis mengenang Rudi bersama Randu di atap gedung.
Kegigihan Randu menggapai hati Gadis, keputusasaannya ketika diacuhkan Gadis tampak dari rentetan gambar 8 dan gambar 9. Dia datang ke rumah Gadis sore hari seusai kuliah, tetapi menurut ibu Gadis belum pulang dari kuliah padahal Randu tidak menemuinya di kampus. Malam harinya dia datang lagi dan bertemu Adi dan pembantu di rumah itu, tapi Gadis belum pulang juga. Ketika Adi meninggalkan Randu dengan laptop Gadis yang dipinjamnya, Randu pun tergoda untuk melihat dokumen Tuhan.doc yang tampak di deskstop layar tersebut. Dari sana dia mendapatkan informasi mengenai Gadis. Ketulusan Randu akhirnya berbalas, tampak dalam gambar ketika Randu menyatakan cintanya dengan tulus (tampak dari ekspresi wajah Randu) disusul Gadis keluar dari rumah menemui Randu di antara derai hujan dan mereka berpelukan (gambar 9). Latar hujan dalam film adalah untuk mendramatisir ekspresi cinta Randu terhadap Gadis dan untuk mendukung karakter Randu dalam film yang memiliki ketulusan dibanding karakter Randu di dalam cerpen yang digambarkan norak. Cinta Gadis dan Randu akhirnya membebaskan Gadis dari masa lalunya yang mendera hari-harinya selama ini, yang telah merapuhkannya karena penghianatan kekasih dan sahabatnya. Namun tampak dalam gambar, Gadis membuang pesawat-pesawat kertas yang biasa dia buat setelah menuliskan keluhan hatinya pada Tuhan saat patah hati merupakan simbol pembebasan dirinya dari masa lalu tersebut, seperti yang telah disarankan Rudi selama ini, maka itu pesawat-pesawat kertas tersebut dibuang di atap gedung tempat dia dan Rudi dulu biasa merenung. Hal itu dilakukan sebagai simbol laporanya pada Rudi bahwa dia telah melupan masa lalu tersebut dan memulai cerita baru bersama Randu, tampak dalam gambar Randu juga hadir di atap gedung. Dari apa yang diwacanakan di dalam konteks eros heteroseksual ini maka ideologi yang terbaca di dalamnya sebagai berikut: cinta yang sesuai konvensi sosial adalah cinta yang membawa kebahagiaan karena akan membuat pelaku terhindar dari sanksi-sanksi moral yang menghantui pelaku.
Eros Homoseksual
Gadis jatuh cinta terhadap Rudi yang juga perempuan adalah kenyataan yang dihadirkan cerpen. Dia berusaha menyangkal perasaan itu tetapi tak berdaya. Dia menuliskan semua perasaannya dengan gamblang melalui surat-surat yang ditulisnya pada Tuhan dan juga menyatakan secara lisan pada Rudi di suatu malam.
“Ada sesuatu anatara aku dengan dia yang belum bisa aku tebak. Rasanya aku ingin sekali menghukum perasaanku yang tidak benar ini. Aku berada di antara perbatasan, aku tidak ingin tersesat, Tuhan. Aku ingin tidur di atas perapian hingga terbakar hangus tanpa jejak.”
(Goeslaw,2005:16)
Dear God,
Oh Tuhanku, perasaan itu hadir lagi, aku takut tidak sanggup menahan semua ini. aku ingin memegang tangannya, memeluknya, dan aku ingin merasakan debaran jantungnya. Tuhan, aku pasti berdosa, tolong aku Tuhan, buang jauh-jauh perasaan ini, Tuhan. Ini tidak boleh terjadi.
(Goeslaw,2005;17)
...Semenjak aku mengenal kamu, ada sesuatu yang aku rasakan. Aku merasa bisa mempercayai kamu, aku merasa tenang dekat kamu. Maafkan aku, Rudi, aku tahu ini salah, aku berdosa, tapi aku tidak membohingi perasaanku sendiri”
(Goeslaw,2005;22)
Berikut kutipan pernyatan perasaan Rudi yang di dalam cerpen. Dia tidak menganggap Gadis lebih dari adiknya yang meninggal.
“...Randu betul-betul mencintaimu Dis..jangan pernah berpaling dari malaikat yang terbang dan hinggap di hati dengan membawa seribu cinta. Jangan pelihara kesombongan hati yang akhirnya akan membuahkan penyesalan yang mendalam.... cintailah dia yang mencintaimu, Gadisku.”
(Goeslaw,2005;26)
“Gue memang sayang sama elo, Gadis. Buat gue, elo itu pengganti adik gue yang udah meninggal. Gue nggak bermaksud lain. Maafin gue kalau gue salah. Sekarang gue Cuma mau nggak ada penyesalan. Semua yang harus terjadi, terjadilah...! Karena bagaimanapun, hidup memang tentang meninggal dan ditinggalkan.”
(Goeslaw,2005; 28)
Kutipan-kutipan tersebut di atas jelas menyebutkan secara eksplisit bahwa Gadis mencintai Rudi. Namun, Rudi menyayangi Gadis tidak lebih dari kasihnya seperti pada adik kecilnya yang meninggal. Cinta Rudi terhadap Gadis adalah cinta platonik, bukan Eros. Eros yang ‘menyimpang’ ini jelas diwacanakan dengan gamblang dalam cerpen sebagai sebuah penyimpangan yang harus dicegah, disembuhkan, dihentikan seperti sejenis penyakit. Gadis juga merasa sangat bersalah dengan perasaannya tersebut tapi tidak kuasa menghentikan dirinya terinklusi ke dalam wacana lemah. Namun ketika dia mengungkapkan perasaannya tersebut pada Rudi, Gadis menaklukkan rasa takutnya, menyeberangi batasan lemah, membangun tandingan dalam posisi tawar. Dia tetap ada di ruang antara dan akhirnya kembali menginklusi dirinya ke dalam wacana kuat dengan menerima Randu sebagi kekasihnya ketika ditinggalkan Rudi selamanya.
Berbeda halnya dengan yang muncul di dalam film, wacana lesbian tampak hanya merupakan dugaan di benak Gadis. Kenyamanan-kenyamanan yang didapat Gadis saat bersama Rudi terus tumbuh tapi disangkal sebagai sebuah kebenaran. Sikap over protektif Rudi membuatnya merasa Rudi menganggap dia lebih dari sekedar teman. Dia mulai tidak mempercayai Rudi dan mengira Rudi menganggap dirinya pacar. Dia menduga Rudi lesbian. Kedekatan dan keintiman Rudi dan Gadis dapat dilihat pada potongan scene film dalam gambar-gambar berikut:
Gambar 10. Kedekatan, keintiman Rudi dan Gadis di dalam film: sikap Rudi yang protektif, dan menularkan keceriaan pada Gadis yang pemurung. Di atap gedung keduanya sering berbagi tentang permasalahan hidup masing-masing yang menyiratkan keintiman keduanya hingga Gadis menginterpretasikan sikap protektif dan kepedulian Rudi pada dirinya sebagai indikasi tumbuhnya cinta Eros di antara keduanya dan mengira Rudi sebagai sosok lesbian.
Sikap Gadis ini adalah satu bentuk self defence mecanism, khususnya proyeksi psikologis, yaitu ketika seseorarang memproyeksikan dirinya pada orang lain mengenai perasaannya, pikirannya, emosinya, dan hasratnya (http://en.wikipedia.org/wiki/Sigmund_Freud). Karakter Gadis tidak tegas menyikapi perasaannya, hal ini menegaskan eksklutivitas wacana cinta heteroseksual terhadap wacana lesbian.
Pertengkaran antara Gadis dan Rudi disebabkan ketidakpercayaan Gadis, dia ingin Rudi mengakui kalau dugaannya benar. Sayangnya, Rudi tak dapat menangkap maksud Gadis. Dia baru mengerti ketika Gadis sudah berada di seberang jalan yang ramai lalu-lalang mobil. Suaranya sudah ditelan hiruk-pikuk jalan raya. Hingga kematian menjemput Rudi, melalui buku hariannya Gadis mampu mengingat, merekonstruksi apa yang tak sempat tertangkap pendengarannya ketika itu. Dalam film ini ditampilkan flashback ketika percakapan itu terjadi namun suara Rudi diperjelas dan menggema. Berikut apa yang dikatakan Rudi atas pertanyaan Gadis.
“Gadis, lo boleh ga percaya sama orang. Tapi kalau elo ga percaya sama oang yang sayang dengan tulus sama lo itu beda tau ga? Itu sama dengan penghianatan dan itu sakit. Satu hal yang lo harus tahu. Aku ga mau kehilangan, lo ga tahu rasanya lihat orang yang lo sayang mati di depan lo cuma gara-gara lo ga bisa jagain dia. Gue emang sayang, Dis sama lo. Buat gue, elo itu penganti adik gue yang udah meninggal. Itu aja, Dis. Paling nggak gue jadi kakak yang baik, yang bener, sebelum gue mati tau nggak?”
Potongan-potongan gambar berikut diambil dari scene saat Gadis meminta penjelasan sikap Rudi selama ini terhadapnya, apakah dia menganggap dirinya sebagai pacar, hingga saat Rudi menjelaskan perasaannya tersebut pada Gadis di seberang jalan;
Gambar 11. Gadis dengan berlinang airmata mempertanyakan posisinya dalam hidup Rudi dan kekecewaan Rudi atas tuduhan Gadis.
Perbedaan latar ketika jawaban Rudi diucapkan dalam cerpen dan film adalah usaha melogiskan dengan media yang dipakai. Walau pun karya sastra dan film memiliki logika sendiri yang berbeda dengan logika dunia nyata (McHale, 1987: 33), tetapi usaha mendekatkannya pada dunia nyata sehinga terasa dekat dengan pembacanya itu berlaku dalam dua karya ini. Di dalam cerpen disebutkan bahwa suara Rudi seperti ditelan hujan dan Gadis tak sempat mendengarnya. Dalam media bahasa hal tersebut mungkin terjadi tetapi dengan media audio visual, sulit dilogikakan suara orang di luar jendela mobil tidak terdengar, gerakan bibir masih bisa terbaca. Tetapi dengan memilih latar di sebarang jalan peristiwa tersebut menjadi lebih logis. Ideologi yang terkandung dalam pemaparan wacana ini adalah penyimpangan dari konvensi sosial akan meresahkan hidup karena pelaku akan dihantui perasaan bersalah, dan karena yang berdosa harus dihukum.
Ada pun perbedaan-perbedaan atas dasar wacana dan ideologi yang terdapat di dalam cerpen Tentang Dia!!! dan film Tentang Dia dapat dilihat pada tabel berikut:
Wacana | Ideologi | Ideologi Cerpen | Ideologi Film | Fungsi |
Cinta kekeluargaan | KDRT disebabkan posisi kelas sosial | Peran posisi kelas sosial tercermin lemah | Peran posisi sosial tercermin kuat | Melogiskan alur dari aspek visual |
Agape | Manusia butuh sesama | Laki-laki lebih kuat dibanding perempuan, perempuan butuh laki-laki sebagai pelindung. | Laki-laki atau pun perempuan butuh sesama | Mengangkat permasalahan universalitas dari pada permasalahan gender |
Eros heteroseksual | Salah-benar | Posisi di ruang antara (in between): melalui tahapan ulang alik dari salah-benar. | Benar | Menghindari kecaman masif dari audien mengingat persoalan homoseksual masih belum diterima di dalam masyarakat Indonesia, dan menghindari badan sensor film Indonesia yang bisa mencekal peredaran film yang dianggap keluar dari norma sosial masyarakat Indonesia |
Eros homoseksual | Salah |
Tabel 1.
Dalam wacana cinta kekeluargaan terdapat ideologi KDRT yang disebabkan oleh posisi kelas sosial, di dalam cerpen hal tersebut lemah karena gambaran keluarga Rudi sangat terbatas, tetapi KDRT juga muncul di dalam cerpen. Sementara di dalam film, ideologi KDRT yang dikaitkan dengan posisi kelas sosial tercermin kuat, perubahan ini tampaknya dilakukan untuk kelogisan cerita dari aspek visual. Wacana agape mengusung ideologi manusia butuh sesama yang dalam cerpen lebih ditekankan pada kekuatan laki-laki sebagai pelindung perempuan dan di dalam film justru menyetarakan persoalan gender, bahwa laki-laki atau pun perempuan adalah membutuhkan sesama. Fungsi perubahan tersebut dalam rangka menekankan misi film yang mengangkat persoalan universalitas daripada masalah gap gender. Salah-benar menurut konvensi adalah ideologi yang tertuang dalam wacana eros yang di dalam cerpen antara eros heteroseksual dan eros homoseksual diletakkan di ruang antara walau pun akhirnya kembali pada inklusivitas wacana kuat: kebenaran menurut konvensi sosial. Sementara di dalam film antara eros heteroseksual dan eros homoseksual ditegaskan dalam kutub berbeda, benar dan salah. Pertimbangan akan penerimaan konsumen terhadap permasalahan homoseksual membuat segmentasi kutub benar-salah tersebut dan perubahan itu dilakukan juga untuk dapat lolos dari badan sensor film Indonesia yang selalu mempertimbangkan norma sosial masyarakat Indonesia. Persoalan homoseksualitas masih rawan konflik di dalam masyarakat Indonesia. Sementara diagram perubahan ideologi dari cerpen ke film Tentang Dia dapat dipetakan sebagai berikut:
Diagram 2.
Keterangan:
Garis ( ) menunjukkan hubungan faktor yang dipertimbangkan dalam media dan ideologi yang direpresentasi karya
Garis ( ) menunjukkan hubungan karya dengan unsur-unsurnya
Garis ( ) menunjukkan transformasi
Oval ( ) menunjukkan konsumen karya sastra
Oval ( ) menunjukkan konsumen film
Ideologi menjadi ideologi1 : menunjukkan adanya perubahan pada ideologi sebagai hasil transformasi
Cerpen dan film memiliki media yang berbeda dan efek pada konsumen yang berbeda pula. Pembaca sebagai konsumen karya sastra jumlahnya lebih sedikit (karena cara menikmatinya individual) dibanding dengan audien film yang berdampak serentak karena cara menikmatinya bersifat komunal, pada sekelompok orang. Aspek konsumen ini mengakibatkan perubahan pada ideologi yang ditransformasikan dari cerpen dan film mengingat dampak dari film yang bisa menggerakkan massa secara serentak dan dalam waktu singkat, sementara konsumen sastra (cerpen) lebih lambat kemampuannya dalam menggerakkan massa yang disebabkan proses pembacaan yang tidak bersamaan.
Penutup
Transformasi dari cerpen Tentang Dia!!! ke film Tentang Dia yang memiliki media berbeda ternyata juga membawa perubahan pada ideologi yang dibawanya dalam wacana yang direpresentasikan oleh masing-masing bentuk. Inti cerita yang berkisar pesoalan cinta homoseksual antara Gadis dan Rudi di dalam cerpen dikaburkan di dalam film. Logika fiksional cerpen kerabkali berusaha disesuaikan dengan logika dunia nyata oleh film, hal ini disebabkan film memiliki daya jangkau konsumen yang lebih luas sehingga aspek pengaruh pada konsumen yang cepat harus dipertimbangkan, termasuk wacana moralitas yang diangkat di dalamnya. Cerpen Tentang Dia!!! menawarkan wacana tandingan mengenai persoalan moralitas yang membelut persoalan sepanjang cerita, yaitu persoalan salah-benar dalam mencintai tetapi cerpen tersebut berhasil melakukan pergerakan ulang-alik dari persoalan salah-benar dengan memilih sikap walau pun akhirnya kembali ke inklusivitas wacana mapan. Sementara film cenderung mempertahankan kutub salah-benar dalam pemaparan wacana homoseksualitas di dalamnya. Akan tetapi persoalan moralitas hendaknya juga tidak menghalangi kreativitas untuk menawarkan wacana-wacana tandingan yang efektif dalam bentuk media yang berdaya jangkau luas ini. Keterampilan lebih bagi para sineas diperlukan untuk membangun wacana-wacana tandingan yang mampu mengajak penikmatnya berpikir dan bersikap cerdas terhadap fenomena disekitarnya, tetapi tidak memicu tindakan anarkis massa tertentu karenanya.
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. 2007.Filsafat sebagai Sebuah Senjata Revolusi: pengantar Fredric Jameson (terjemahan dari Lenin and Philosophi, and other Essays/Louis Althusser: introduction by Fredic Jameson.1971).Yogyakarta: Resist Book
Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Brighton : Harvester.
--------- 2002. Menggugat Sejarah Ide (Terj. dari The Archeology of Knowledege oleh inyiak Ridwan Muzir) Yogyakarta : IRCiSoD
Belsey, Catherine. 1990. Critical Practice. London : Routledge
Bluestone, George. Novels into Film. Berkeley , Los Angeles , London : University of California Press.
Bordwell, David andKristin Thompson. 1993. Film Art: an Introduction Art: Fourth Edition. New York: McGraw-Hill.
Delora, Joann S., Carol A.B. Warren, and Carol Rinkkleib Ellison. 1977. Understanding Human Sexuality.U.S.A: Houghton Mifflin Company.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta : Pusat Bahasa.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Jakarta : Nusa Indah.
Goeslaw, Melly. 2005. Arrrrrgh…. Yogyakarta : Gagas Media.
http://en.wikipedia.org/wiki/Sigmund_Freud yang diunduh pada bulan Juli 2007
http://en.wikipedia.org/wiki/Snow_White_and_the_Seven_Dwarfs_(1937_film
diunduh pada 22 Juni2008, pukul 13.53 WIB
http://www.imageandnarrative.be/affiche_findesiecle/vanparys.htm diunduh pada 26 Desember 2008, pukul 15:14 WIB
http://sukab.wordpress.com/2008/08/28/novelisasi-film-sebuah-pengalaman-dengan-biola-tak-berdawai/ diunuh pada 28 April 2009, pukul 8:25 WIB
Soedjarwo, Rudi. 2005. Tentng Dia. Film Produksi SinemaArt Production.
[1] Di Indonesia transformasi dari film menjadi Novel terjadi pada film Biola Tak Berdawai yang dinovelkan oleh Seno Gumira (http://sukab.wordpress.com/2008/08/28/novelisasi-film-sebuah-pengalaman-dengan-biola-tak-berdawai/). Sementara di Hollywood hal serupa telah dilakukan Disney sejah setelah perang dunia I tahun 1937, ketika Disney memfilmkan dongeng Snow White yang sudah tertulis (http://en.wikipedia.org/wiki/Snow_White_and_the_Seven_Dwarfs_(1937_film)
sampai tahun 2007 Disney membukukan dan menovelkan sebagian besar film-film produksinya.
[2] Di Amerika, transformasi sastra ke film lebih dikenal sebagai cinematic adaptation. Sejak tahun 2005 buku-buku teori mengenai adaptasi sastra ke film (dan sebaliknya) bermunculan kembali di Amerika, di antaranya adalah judul-judul berikut: A Companion to Literature and Film (2005) dan Literature and Film: A Guide to the Theory and Practice of Film Adaptation (2005) serangkaian volume buku tersebut ditulis oleh Robert Stam bersama Alessandra Raengo, dan Robert Stam sendiri menulis Literature through Film: Realism, Magic, and the Art of Adaptation (2005), Mireia Aragay menulis Books in Motion: Adaptation, Intertextuality, Authorship (2005) dan Linda Hutcheon meluncurkan A Theory of Adaptation (2006), dan Christine Geraghty mempublikasikan Now a Major Motion Picture: Film Adaptations of Literature and Drama (2007). Koleksi esai yang berbau institusional akademis juga telah dipelopori oleh Cambridge dalam The Cambridge Companion to Literature on Screen (2007), dan susul oleh The Literature/Film Reader: Issues of Adaptation (2007). Thomas Leitch juga menulis permasalahan adaptasi dan teori adaptasi dalam Film Adaptation and Its Discontents: From Gone with the Wind to The Passion of the Christ (2007). Informasi tersebut diunduh dari http://www.imageandnarrative.be/affiche_findesiecle/vanparys.htm pada 26 Desember 2008, pukul 15:14 WIB
[3] kebenaran di sini ádalah kebenaran bentukan yang dihasilkan oleh formasi dan praktik diskursif, bukan kebenaran mutlak sebagaimana Foucault menekankan bahwa kebenaran tidak lepas dari relasi kuasa.
[4] Istilah Foucault akan sesuatu itu benar atau salah, disadari sebagai sebuah kebenaran oleh sekelompok masyarakat sehingga didukung sebagai sebuah kewajiban bagi mereka yang dikuasai, ini menjadi alat kekuasaan bagi penguasa. Power/Knowledge;1980; hal 131.
[5] istilah ini digunakan mengingat wacana selalu mengandung ragam ideologi dan diamini sosial sebagai sebuah konsensus.